Studi
Kontekstualisasi tentang Bahasa Roh
(JHON MUSA RENDHOARD)
Pendahuluan
Bahasa
Roh merupakan topik yang hangat sampai saat ini, tidak herang banyak para
teolog yang sampai saat ini bergumul untuk menjawab apakah konsep Bahasa roh
ini masih relevan sampai sekarang? Bahkan bukan hanya para teolog, ,melainkan
semua jemaat pun diperhadapkan dengan konsep ini . Namun pertanyaannya ialah
apakah penafsiran ‘bahasa roh’ merupakan penafisran yang tepat? Dan jika itu
benar, apakah masih relevan kata itu digunakan di dalam peribadahan umat dan
juga menjadi tanda pertumbuhan iman seseorang.
Pembahasan
1.1.Terminologi
Di dalam Bahasa Yunani, Bahasa Roh
ialah [1] glw,ssh||
(glosse/
glosolali), beberapa terjemahan
menyebutnya ialah bahasa lidah, diantaranya; NRS ‘in a tongue” (Bahasa
Lidah), RSV ‘in a tongue (Bahasa lidah), BGT glw,ssh|| ‘ (bahasa lidah) dan GNT ‘ glw,ssh||’ (bahasa lidah), hanya terjemahan
LAI yang menerjemahkan bahasa roh dan bahasa lain dan BIS yang menggunakan bahasa
ajaib.
Di dalam terjemahan
yang asli dari bahasa Yunani, ialah glw,ssh|| , terjemahan
yang asli mengartikan kata Glosseh/glosolali ini ialah bahasa lidah, bukan
bahasa Roh yang dimengerti oleh kita sampai saat ini. kata glosseh ini muncul
di Perjanjian Baru sebanyak 47 kata, sedangkang di kitab surat Korintus muncul
sebanyak 19 kali dan di dalam Kisah Para Rasul kata ini muncul sebanyak 6 kali,
dan sisanya di dalam kitab-kitab yang lainnya di dalam Perjanjian Baru. Di
dalam surat Korintus kata ini muncul
sebagai bukti tentang salah satu karunia (1 Kor 14) dan di dalam Kisah
Para Rasul kata ini muncul pada saat hari Pentakosta. Artinya di dalam 2
peristiwa penting tadi dari kedua kitab itu, memberikan suatu alasan penafsiran
untuk menggunakan kata itu sebagai bagian dari peribadahan dan bukti ‘telah
dipenuhi roh’ oleh kalangan tertentu.
1.2.
Bahasa Roh di Dalam kitab Kisah Para Rasul
Di dalam Kisah Para
Rasul, kata ini muncul pada saat peristiwa yang begitu penting terjadi, yaitu
pada saat turunnya pencurahan Roh Kudus, kepada para murid dalam bentuk seperti
lidah-lidah api, atau yang disebut sebagai hari Pentakosta. Hari ini terjadi
setelah 50 hari kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus. Peristiwa ini terjadi
pada saat para murid sedang berkumpul,mereka berkumpul untuk bertekung di dalam
doa (1 kis 1:14), setelah mereka memilih
Matias sebagai pengganti Yudas (ayt 26)
kemudian berkumpulah mereka, pada saat itu adalah hari dimana seluruh umat
datang untuk merayakan hari Pentakosta (Pesta Pertanian) dan disitulah terjadi
peristiwa para murid semua dipenuhi oleh Roh, sehingga mereka tampil
membritakan Kasih Kristus kepada semua
orang dari bangsa-bangsa yang berbeda. Yang menjadi sorotan di dalam teks ini
ialah para murid dapat berbicara sesuai dengan bahasa dari bangsa-bangsa yang
berkumpul pada saat itu (ayt 6). Dari penjelasan ayat ini, jelas sekali
diketahui bahwa para murid itu berkata-kata dengan memakai bahasa
bangsa-bangsa, jadi bukan berkata-kata dalam bahasa Roh. Dan juga
hal ini berati, “tidak mungkin kita
menyimpulkan bahwa pengalaman para murid harus menjadi pengalaman kita juga
pada masa kini. Pengalaman mereka bersifat unik karena mereka hidup dalam masa
transisi dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru. Pengalaman mereka hanya
terjadi satu kali dan tidak menjadi pola bagi kita untuk masa kini. Sebab
masuknya mereka ke dalam kepenuhan Roh Kudus terjadi dalam dua tahap yang
berbeda: mencerminkan sebuah pola kesinambungan dengan kita (Roh yang sama),
dan pola ketidaksambungan dengan kita (hanya dalam Pentakosta, Roh Kudus datang
dalam tugas dan pelayanan-Nya sebagai Roh Kristus yang dimuliakan). Pola
demikian didasarkan atas munculnya zaman baru dari zaman lama. Jadi terdapat
keistimewaan dalam pengalaman murid-murid, sama seperti pengalaman mereka
bersama Yesus”[2].
Jadi dengan demikian bahasa lidah yang di katakan di dalam teks ini merupakan
pengalaman sekali yang dirasakan oleh para murid pada saat itu dan kita tidak
mungkin bisa seperti mereka, sebab kita tidak hidup di jaman seperti itu,
sehingga itu menjadi sejarah bagi kita untuk melihat karya Kristus bagi para
murid yang memiliki kesempatan langsung merasakan dan hidup bersama dengan
Kristus.
1.3.
Bahasa Roh di Dalam kitab Surat Korintus
Dalam surat Paulus
kepada jemaat di Korintus, Paulus lebih diteil lagi menjelaskan tentang bahasa
Roh itu, dan untuk apa saja bahasa Roh itu digunakan. Dalam hal ini, bahasa Roh
itu masuk di dalam salah satu urutan karunia-karunia Roh (1 Kor 14: 1-25 ).
Artinya Paulus mengakui bahwa bahasa Roh juga merupakan karunia yang Tuhan
berikan. Namun di dalam teks ini, menyatakan bahwa karunia itu hanya digunakan
secara pribadi untuk membangun diri sendiri (ayt 4), sebab di dalam ayat yang
sebelumnya menjelaskan bahwa bahasa itu tidak akan dimengerti oleh orang lain,
sehingga hanya ditujukan kepada pribadi-pribadi sendiri, dan menurut Paulus
tidak diperkenankan untuk memakai bahasa itu di dalam persekutuan dengan jemaat,sebab
jika itu dipakai dalam persekutuan dengan jemaat maka akan menjadi batu
sandungan bagi jemaat yang baru (ayt 23).
1.4.Bahasa
Roh dalam Konteks Masa Kini
Di dalam
perkembangannya, ‘bahasa roh’ seperti yang sekarang ini menjadi suatu tren gaya hidup
kerohanian bagi kalangan tertentu, bahasa roh kini bahkan telah menjadi
suatu tanda yang menunjukkan tingkat kedewasaan kerohanian seseorang, seperti
dikatakan oleh “Dr.Peter Master, di dalam bukunya “ Bahasa Lidah di lingkungan Kharismatik sebagian besar adalah untuk
keuntungan pribadi. Hal itu diinginkan sebagai sebuah tanda pribadi, demi
nilai-nilai rohani, emosional dan eksatis di dalam penyembahan pribadi”[3].
Oleh karena itu, di dalam kalangan tertentu bahasa roh menjadi hal yang penting
bagi pertumbuhan kerohanian seseorang. Namun di dalam perkembangannya, bahasa
lidah ini bukan hanya menjadi gaya hidup bagi seseorang di dalam persekutuan
pribadinya dengan Tuhan, malah dipergunakan untuk persektuan yang jumlahnya
sangat banyak, seperti di dalam ibadah-ibadah dan juga di
persekutuan-persekutuan yang jumlahnya sangat banyak. Namun menurut Dr. J.L. Abineno “ Menurut saya ini: Bahwa dalam pertemuan umum atau ibadah berkata-kata
(memuji, berdoa) dengan akal-budi, artinya dengan bahasa yang dimmengerti orang
itu lebih tinggii (lebih berguna) daripada berkata-kata (berdoa, memuji) dengan
roh, artinya dengan bahasa yang tidak dimengerti semua orang. Lebih tinggi
dalam arti relatif, sama seperti nubuat “lebih tinggi” dari glosolali. Karena
itu bahasa-roh, yang dipakai dalam pertemuan-pertemuan umum, harus ditafsirkan.
Sebab hanya dengan jalan demikian ia bisa bergunna bagi anggota-anggota Jemaat.
Artinya: bisa membangun hidup mereka dan hidup jemaat”[4].
Dalam hal ini, ia menyetujui adanya penggunaan bahasa lidah, asalkan menurutnya
itu dapat dipakai dengan tepat, yaitu jika seorang diri dengan hubungannya
dengan Tuhan, namun jika dengan jemaat itu bukanlah sikap yang baik. Seperti
juga yang dikatakan oleh Donal Brige dan David Phypers yang menyatakan bahwa “ Nilai utama daripada karunia untuk berbicara
dengan bahasa roh terletak dalam penggunaannya secara pribadi untuk membangun
orang-orang perseorangan (14:2,4,14). Di dalam jemaat, karunia untuk
berkata-kata dengan bahasa roh tidak bermanfaat kecuali kalau disertai dengan
tafsirannya (14:5)[5]”.
Dengan kata lain, mereka sama-sama mendukung penggunaan bahasa roh atau bahasa
lidah, asalkan penggunaan itu menurut mereka haruslah digunakan secara pribadi,
bukan digunakan pada saat perkumpulan jemaat.
Dalam hal ini, penulis pun sependapat dengan kedua teolog ini, bahwa
penggunaan bahasa roh bukanlah suatu hal yang penting dalam peribadahan yang
saat ini di gunakan dan diterapkan oleh beberapa gereja sampai saat ini, bahkan
bahasa lidah yang sekarang ini bukan lagi digunakan untuk membangun dirinya,
malah hanya sebagai sebuah formalitas untuk mengukur seseorang itu sudah
memiliki Roh Kudus atau belum, tentu ini adalah hal yang keliru, bahasa lidah
bukanlah tanda bahwa seseorang itu telah dipenuhi Roh Kudus atau belum, tetapi
seperti dijelaskan diatas digunakan hanya untuk pertumbuhan pribadinya dengan
Tuhan. Artinya bahwa bahasa lidah bukanlah suatu syarat bagi setiap orang yang
ingin dipenuhi oleh Roh Kudus, melainkan suatu ritual bagi persekutuan
seseorang dengan Tuhan, sebab hanya dia yang mengerti isi hatinya di dalam
kata-kata itu kepada Tuhan.
[1]
Bible Works, GNT, BGT, NRS, RSV, LAI dan BIS
[3]
Dr. Peter Masters & Prof. John C Whitcomb, Fenomena Kharismatik, Jakarta: (Terj) Yayasan Misi Remaja Indonesia
. hal 44
[4]
Dr. J. L. CH. Abineno, Karunia-karunia
Roh Kudus, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1980, hal 23
[5]
Donald Bridge & David Phypers, Karunia-karunia
Roh dan Jemaat, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999. Hal 81