Konsep
Perjanjian (Covenant) Menurut Kitab
Taurat
(JHON MUSA RENDHOARD)
Pendahuluan
Pada
pembahasan kali ini, penulis akan mencoba untuk membahas konsep Perjanjian
menurut kitab taurat, yang secara umum membahas tentang apa itu Perjanjian, apa
hubungan perjanjian dengan kitab taurat,
dan dengan kehidupan bangsa Israel dan makna teologisnya.
Latar
Belakang Gagasan Perjanjian
Di
Timur Tengah istilah tentang perjanjian sudah lazim digunakan dalam hukum
masyarakat sehari-hari, terutama ketika manusia masih hidup dalam alam
pengembaraan. Sejak dulu kala disana terdapat banyak “perjanjian” yang digunakan sebagai persepakatan
atau persetujuan yang sah antara orang dan golongan orang-orang, dan perjanjian
itu harus ditaati agar tercapainya kehidupan bersama yang rukun[1].
“Dengan demikian pembuatan perjanjian dimaksudkan
untuk mengamankan keadaan keutuhan, ketertiban, dan kebenaran antara dua pihak,
untuk memungkinkan, atas dasar landasan hukum, hubungan dalam hal-hal yang
mempengaruhi perjalanan kehidupan mereka bersama”[2].
Dengan melihat akan hal ini maka perjanjian
adalah suatu janji sungguh-sungguh yang diikat oleh sumpah, yang dapat
merupakan ucapan lisan ataupun tindakan simbolis, dalam Kamus Alktitab “ Perjanjian kata Ibrani berith berarti persetujuan antara dua
pihak, atau kesepakatan antara Allah dengan umat Israel”[3].
Di dalam perjanjian lama, kita dapat melihat berbagai contohnya, misalnya
perjanjian yang diikrarkan oleh Yonatan dan Daud “di hadapan hadirat Tuhan” (1
Samuel 23:18, band. 18:3; 20:8). Contoh lainnya adalah perjanjian antara Yakup
dengan Laban (Kej.31:44-45). Di sini tertulis seluruh upacara perjanjian itu yang
dilaksanakan oleh kedua pihak, yaitu mendirikan timbunan batu sebagai saksi,
mengadakan sumpah timbal balik, kurban dan perjamuan bersama. Pihak ketiga
dalam persetujuan ini adalah “Allah Abraham dan Allah Nahor, Allah ayah mereka
(ayt.53) yang oleh kedua pihak pembuat perjanjian itu dipanggil dan diakui
sebagai pihak yang menentukan. Dan
juga perjanjian di Sinai.
Pembahasan
Di dalam teori
sumber, kita dapat melihat ciri-ciri bagaimana perjanjian itu , baik itu teori dari
sumber Y yang “menitik-beratkan
pemanggilan Israel untuk menjadi bangsa (umat) Allah, dan janji Allah kepada
mereka diteguhkan oleh anugerahNya”[4]
dan juga sumber P (Priester codex) penulis P melaporkan bahwa Allah mengadakan
perjanjian dengan Nuh dan Abraham (Kej 6:18; 9:9 dan 17:2). Ada dua istilah
teknis yang dipakai penulis P untuk menyebutkan proses perjanjian antara Allah
dengan Nuh dan antara Allah dengan Abraham. Alkitab berbahasa Indonesia hanya
mengatakan Allah “mengadakan perjanjian” dengan Nuh dan dengan Abraham. Akan
tetapi dalam teks Masora digunakan dua istilah yang berbeda. Dalam Kejadian18:8;
9:9, 11 dan juga 17:7, 19,21 teks Masora menggunakan istilah heqim berit yang berarti “mendirikan /
membangun perjanjian”, sedangkan dalam kejadian 17:2 dipergunakan istilah natan berit yang berarti “ memberikan /
mengaruniakan perjanjian”. Kedua kata kerja, yakni heqim dan natan adalah
istilah-istilah khusus penulis P untuk menunjukkan terbentuknya ikatan
perjanjian antara Allah dan manusia”[5].
juga sumber D, yang ditemukan pada saat Bait Allah sedang diperbaiki atas
perintah raja Yosia. Pada saat itulah para tukang yang bekerja di sana,
menemukan suatu naskah gulungan yang disebut sebagai Taurat (2 Raja 22:8) yang
rupanya adalah sebagian dari kitab Ulangan, yaitu fasal 12-26. “Usaha penulis D
ini disambut baik oleh Raja Yosia di Yerusalem pada abad ke-7 SM, sehingga raja
Yosia mengadakan reformasi yang bertujuan membangun kembali kehidupan yang suci
dan memulihkan bangsa Israel kepada hubungan yang benar dengan Tuhan Allah.
Reformasi ini didasarkan pada perjanjian Sinai”[6].
1.1 Perkembangan Perjanjian Dalam Kitab
Taurat
Di
dalam kitab taurat terdapat lima kitab yaitu, “Kejadian, Keluaran, Imamat,
bilangan dan juga Ulangan”.[7]
Dari kelima kitab ini, kita akan melihat tentang bagaimana konsep perjanjian
yang dilakukan manusia dengan Allah. Jika kita melihat perjanjian manusia
dengan manusia, kita dapat melihat kepada kisah Yonatan dengan Daud, dan juga
tokoh Yakup dengan Laban, sedangkan Manusia dengan Allah, misalnya Allah dengan
Nuh dan Allah dengan Abraham dan juga perjanjian di Sinai.
1.1.1.
Perjanjian
Dengan Nuh
Dalam Kej 9:8-17, teks
ini sejajar dengan janji Allah dalam karangan Y, yaitu Kej 8:21-22. Dalam
karanagan Y hanyalah suatu kata janji biasa, tetapi di sini pengarang P
mengankatnya menjadi penetatapan dan penegak kedaulatan Allah yang bersifat hukum-kekal
(ay 16); P mempergunakan istilah “perjanjian” (berit; ay 9,11,12,13,15,16,17;
sampai tujuh kali). Istilah itu sarat dengan makna theologis dan dapat
disamakan dengan “sumpah”, “Ikrar”, “keputusan agung”, “penetapan yang merdeka
dan berdaulat”. Dengan mengeluarkan dekrit yang demikian itu maka Allah
mengikat diri; Ia membatasi murkaNya. Aslinya, dalam istilah perjanjian itu terkandung
paham pengutukan diri sendiri: hendaklah kiranya Aku terkutuk, jika aku sekali
lagi mengganyang seluruh bumi seperti yang telah pada waktu air bah. Isi
perjanjian tersebut adalah penjaminan kestabilan semesta alam seperti dalam
8:21-22. Perhatikanlah, bahwa seluruh nats itu adalah firman Allah dari mulanya
sampai akhirnya, manusia tidaklah menjawabnya atau mematuhinya. Perjanjian itu
adalah penetapan dan penegakan kekuasaan oleh Allah sepihak saja”[8].
Kata-kata pertama Allah
kepada Nuh dan anak-anaknya merupakan pengulangan ucapan berkat yang diberikan
Allah pada waktu penciptaan: berkembang biak dan bertambah banyak di
bumi.berkat untuk terus berkembang itu juga tetap berlaku sesudah masa air bah.
Perjanjian dikemukakan oleh tradisi P sebagai antisipasi perjanjian kelak
antara Allah dan Israel. Inisiatif perjanjian dan tanggung jawab untuk menjaga,
seluruhnya berada di tangan Allah. Perjanjian itu ditandai dengan sebuah
pelangi. Pelangi itu akan memperingatkan Allah terhadap janji untuk
melestarikan dunia; dan sekaligus merupakan peringatan bagi manusia akan
kesetiaan dan belas kasih Allah”[9].
1.1.2.
Perjanjian
Dengan Abraham
Perjanjian dengan
Abram, yang diceritakan oleh tradisi Yahwis dalam Pasal 15, sekarang
diceritakan kembali oleh penulis P (17:1-14). Kisah ini sebagian besar terdiri
dari amanat Allah. Hampir tidak ada perhatian manusiawi, sesuatu yang khas
karya Yahwis. Disini dikemukakan lebih banyak tentang pandangan teologis, dari
pada tentang reaksi Abram. Rincian waktu, perhatian teologis dan sikapnya
terhadap sunat semua merupakan ciri penulis P. Seperti versi Yahwis, bagian ini
pun mulai dengan pewahyuan dari diri Allah. Nama” Allah yang mahakuasa”
mempunyai makna istimewa bagi penulis P, yang membatasi pemakaian nama Allah
hanya pada cerita-cerita bapa bangsa. Nama itu menjadi nama khusus Allah pada
periode bapa bangsa (28:3; 35:11; 48:3).
Perjanjian
sendiri dilukiskan bukan sebagai suatu sumpah yang diucapkan oleh Allah,
seperti pada versi Yahwis, melainkan bentuk suatu kontrak. Allah akan memberi
Abram banyak keturunan. Karena itu Abram dituntut hidup sesuai dengan kehendak
Allah, tak bercela, dan melaksanakan sunat sebagai tanda perjanjian di antara
mereka. Perubahan nama Abram (ay 5) menandakan relasi baru yang dijamin oleh
perjanjian. Nama yang baru, Abraham, kiranya berarti “bapa banyak bangsa”.
Sebenarnya nama itu hanya bentuk variasi dari Abram saja, yang berarti “bapaku
(adalah) agung”[10].
1.1.3.
Perjanjian
di Sinai
Perjanjian di Sinai (
Kel.19-40)[11] terjadi
setelah bangsa Israel keluar dari Mesir, orang-orang Israel telah merdeka
tetapi belum dapat disebut suatu bangsa. Belum ada undang-undang dasar mereka!
Banyak lagi yang harus dikerjakan supaya orang-orang Israel dapat menjadi
bangsa dengan identitas tersendiri, berdikari dan diakui oleh bangsa-bangsa
lain. Dalam hal ini peristiwa yang paling penting ialah pengikatan perjanjian
antara Tuhan Allah dengan umat Israel, yang dilaksanakan di Gunung Sinai. Di
situ Musa merupakan tokoh utama, karena dia menjadi perantara dalam perjanjian
tersebut.
Orang-orang
Israel yang sudah bebas dari perbudakan itu membutuhkan asas kenegaraan serta
undang-undang dasar, dan itulah yang ditentukan Allah sebagaimana tercatat dalam
keluaran 19-24. Oleh karena itu pasal-pasal tersebut merupakan salah satu
bagian yang terpenting dalam Alkitab. Lebih dahulu orang Israel berkumpul di
Gunung Sinai dan kepada mereka dinyatakan tujuan Allah sewaktu memilih Israel
sebagai umatNya (Kel 19:4-6a). Kemudian Allah memberi kesepuluh firman (Dasa Titah,
Kel.20) dan “peraturan perjanjian” (undang-undang dasar, Kel. 21-23) kepada
mereka. Hukum-hukum itu merupakan pedoman hidup umat Allah, yang mencakup hukum-hukum
moral, sipil, dan keagamaan. Akhirnya diadakan upacara pengesahan perjanjian
(Kel.24).
Kini banyak perhatian tercurah
pada persamaan-persamaan bentuk yang tampak antara perjanjian Allah itu dengan
naskah-naskah perjanjian Maharaja Hatti (Hetit) “Perbandingan perjanjian Dekat
kuno Timur, khususnya yang dibuat oleh Hittes pada abad ke14 dan 13 SM , dengan
bagian-bagian dalam Perjanjian Lama telah mengungkapkan banyak hal kesamaan
antara keduanya, terutama dalam hal bentuk, bahwa ada beberapa hubungan antara
perjanjian kekuasaan raja dan uraian rinci perjanjian Yahweh dengan Israel
diberikan dalam bagian-bagian tertentu dalam perjanjian Lama”[12].
Yang dalam naskah-naskah tersebut Sang Maharaja membebankan syarat-syarat atas
raja-raja taklukannya, sedangkan mereka menjanjikan kesetiaan mereka terhadap
Maharaja. Bentuk naskah yang demikian itu tidak hanya terbatas pada
naskah-naskah perjanjian Hatti (Hetit) bahkan boleh dikatakan timbul dan
berkembang dengan sendirinya di seluruh Asia Barat Daya kuno, bilamana ada
pihak kuat yang ingin merumuskan syarat-syarat perjanjian dengan pihak yang
lemah . Menurut pendapat Th.C. Vriezen, yang meragukan pendapat Mendenhall
tentang naskah perjanjian Hatti (Hetit), ia menyatakan “Menurut pendapat saya,
dasah titah itu lebih mirip suatu kodeks hukum daripada suatu naskah
perjanjian”[13].Artinya
ia menyatakan bahwa dasah titah itu (Sepuluh
perintah) adalah naskah hukum
lebih dari sekedar hanya sebagai sebuah perjanjian.
1.2 Makna Teologis dari Perjanjian
Makna teologis yang di
dapat dari setiap perjanjian di atas ialah bagaimana kita dapat memahami bahwa
sebenarnya perjanjian itu merupakan gambaran hubungan antara Allah dengan
manusia. Gambaran hubungan ini di lukiskan dalam satu istilah yaitu perjanjian,
yang dimana berarti ikatan perjanjian itu merupakan tindakan keselamatan oleh
Allah yang lahir dari kasih karunia dan kemurahanNya bagi manusia".
inisiatif untuk mendirikan perjanjian itu bukan datang dari pihak manusia atau
merupakan hasil kesepakatan bersama, melainkan berasal dari Allah sendiri. Hal
ini dapat kita lihat gambaran perjanjian Allah dengan Nuh. Yang kedua
perjanjian dengan Abraham dan yang ketiga ialah perjanjian di Sinai. Perjanjian
di sinai tentu berbeda dengan perjanjian Maharaja Hatti, karena perjanjian Maharaja
itu dikenakan secara paksa, dan timbul dari rasa takut terhadap Maharaja,
sedangkan perjanjian Israel timbul dari rasa terimakasih serta ditanggung
dengan kerelaan dan kegembiraan. Hak Allah atas Israel ditetapkan justru karena
Dialah yang membebaskan Israel, bukan karena Dia telah menaklukkan Israel. Itu
berarti bahwa timbul kewajiban moral yang menuntut ketaatan Israel terhadap
kehendak Allah. Sabda Tuhan “jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku
dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku
sendiri dari antara segala bangsa” (Kel 19:5). Gambaran hubungan antara Allah
dengan umat inilah yang digambarkan dalam sebuah perjanjian yang dimana Allah
mau agar umatNya itu senantiasa taat dan setia kepadaNya.
1.3 Kesimpulan Pembahasan
Dari pembahasan ini ada
satu pelajaran tentang bagaimana hubungan
antara Allah dengan umatnya yang digambarkan di dalam sebuah perjanjian,
perjanjian yang bertujuan untuk manusia senantiasa taat dan setia kepada Allah,
dalam hal ini Allahlah yang berinisiatif untuk membuat perjanjian dengan
umatNya, bukan manusia yang pertama yang memulainya, dari sini juga Allah ingin
menunjukkan kasihNya bagi umatNya yang berdosa yang seringkali membuatnya
bersedih, Ia tetap menunjukkan kasihNya. Dengan jalan mengadakan perjanjian itu
Allah ingin memberikan manusia kesempatan untuk menanggapi kasihNya tersebut.
[1]
Dr G.E. Wright dan Dr A.de Kuiper, Perjanjian Lama terhadap Sekitarnya,
(Jakarta: BPK: 1967) hal 61.
[2]
Gerhard Von Rad, Old Testament Theology V 1, (Edinburg and London ; 1962) Hal
130
[3]
W.R.F. BR Browing, Kamus Alkitab A Dictionary oh the Bible, (Jakarta : BPK Gunung
Mulia: 2009) hal. 348
[4]
Dr.J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia:1988) hal.18
[5]
Pdt. Dr. Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual
(Jakarta: BPK Gunung Mulia; 2008) hal 178
[6]
Pdt. Dr. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 1, (Bandung: Bina
Media Informasi: 2009) hal 57
[7][7] Ibid hal. 09
[8]
Dr. Walter Lempp, Kitab Kejadian 5:1-12:3
(Jakarta: BPK Gunung Mulia:2009) hal 100-101
[9]
Dianne Bergan, CSA dan Robert J. Karris, OFM, Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama,
(Yogyakarta: Kanisius: 2002) hal
[10] Ibid, hal 55.
[11]
David L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia:2005) hal 34-35
[12]
Gerhard Von Rad, Old Testament Theology Volume 1,(Edinburg and London: Oliver
and Boyd, 1962) Hal 132
[13]
Th,C.Vriezen, Agama Israel Kuno, (Jakarta: BPK Gunung Mulia:2000)hal 149,
menurut Mendenhall berpendapat bahwa rumusan dasa titah itu merupakan bahan
bukti konsep perjanjian memang merupakan hubungan dasar antara Israel dan
Yahwe, dia berpendapat bahwa rumusan kalimat pendahuluan dalam Dasa Titah (Kel
20:1 dyb). Mirip sekali dengan rumusan-rumusan seperti yang terdapat dalam
naskah-naskah Perjanjian Hatti (Hatit), berdasarkan kemiripin itu Mendenhall
berkesimpulan: - bahwa dasa Titah harus dipandang sebagai suatu naskah
perjanjian yang formal, yang kedua, bahwa Dasah Titah itu sebaya dengan
naskah-naskah perjanjian Hatti . hal ini tentu di ragukan oleh Th.C Vriezen,
tidak setuju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar