Selasa, 27 November 2012

Perjanjian




Konsep Perjanjian (Covenant)  Menurut Kitab Taurat
(JHON MUSA RENDHOARD)

Pendahuluan
            Pada pembahasan kali ini, penulis akan mencoba untuk membahas konsep Perjanjian menurut kitab taurat, yang secara umum membahas tentang apa itu Perjanjian, apa hubungan perjanjian dengan kitab taurat,  dan dengan kehidupan bangsa Israel dan makna  teologisnya.
Latar Belakang Gagasan Perjanjian
            Di Timur Tengah istilah tentang perjanjian sudah lazim digunakan dalam hukum masyarakat sehari-hari, terutama ketika manusia masih hidup dalam alam pengembaraan. Sejak dulu kala disana terdapat banyak “perjanjian”            yang digunakan sebagai persepakatan atau persetujuan yang sah antara orang dan golongan orang-orang, dan perjanjian itu harus ditaati agar tercapainya kehidupan bersama yang rukun[1]. “Dengan demikian pembuatan perjanjian dimaksudkan untuk mengamankan keadaan keutuhan, ketertiban, dan kebenaran antara dua pihak, untuk memungkinkan, atas dasar landasan hukum, hubungan dalam hal-hal yang mempengaruhi perjalanan kehidupan mereka bersama”[2].
 Dengan melihat akan hal ini maka perjanjian adalah suatu janji sungguh-sungguh yang diikat oleh sumpah, yang dapat merupakan ucapan lisan ataupun tindakan simbolis, dalam Kamus Alktitab “ Perjanjian kata Ibrani berith berarti persetujuan antara dua pihak, atau kesepakatan antara Allah dengan umat Israel”[3]. Di dalam perjanjian lama, kita dapat melihat berbagai contohnya, misalnya perjanjian yang diikrarkan oleh Yonatan dan Daud “di hadapan hadirat Tuhan” (1 Samuel 23:18, band. 18:3; 20:8). Contoh lainnya adalah perjanjian antara Yakup dengan Laban (Kej.31:44-45). Di sini tertulis seluruh upacara perjanjian itu yang dilaksanakan oleh kedua pihak, yaitu mendirikan timbunan batu sebagai saksi, mengadakan sumpah timbal balik, kurban dan perjamuan bersama. Pihak ketiga dalam persetujuan ini adalah “Allah Abraham dan Allah Nahor, Allah ayah mereka (ayt.53) yang oleh kedua pihak pembuat perjanjian itu dipanggil dan diakui sebagai pihak yang menentukan. Dan juga perjanjian di Sinai.
Pembahasan
            Di dalam teori sumber, kita dapat melihat ciri-ciri  bagaimana perjanjian itu , baik itu teori dari sumber Y yang  “menitik-beratkan pemanggilan Israel untuk menjadi bangsa (umat) Allah, dan janji Allah kepada mereka diteguhkan oleh anugerahNya”[4] dan juga sumber P (Priester codex) penulis P melaporkan bahwa Allah mengadakan perjanjian dengan Nuh dan Abraham (Kej 6:18; 9:9 dan 17:2). Ada dua istilah teknis yang dipakai penulis P untuk menyebutkan proses perjanjian antara Allah dengan Nuh dan antara Allah dengan Abraham. Alkitab berbahasa Indonesia hanya mengatakan Allah “mengadakan perjanjian” dengan Nuh dan dengan Abraham. Akan tetapi dalam teks Masora digunakan dua istilah yang berbeda. Dalam Kejadian18:8; 9:9, 11 dan juga 17:7, 19,21 teks Masora menggunakan istilah heqim berit yang berarti “mendirikan / membangun perjanjian”, sedangkan dalam kejadian 17:2 dipergunakan istilah natan berit yang berarti “ memberikan / mengaruniakan perjanjian”. Kedua kata kerja, yakni heqim dan natan adalah istilah-istilah khusus penulis P untuk menunjukkan terbentuknya ikatan perjanjian antara Allah dan manusia”[5]. juga sumber D, yang ditemukan pada saat Bait Allah sedang diperbaiki atas perintah raja Yosia. Pada saat itulah para tukang yang bekerja di sana, menemukan suatu naskah gulungan yang disebut sebagai Taurat (2 Raja 22:8) yang rupanya adalah sebagian dari kitab Ulangan, yaitu fasal 12-26. “Usaha penulis D ini disambut baik oleh Raja Yosia di Yerusalem pada abad ke-7 SM, sehingga raja Yosia mengadakan reformasi yang bertujuan membangun kembali kehidupan yang suci dan memulihkan bangsa Israel kepada hubungan yang benar dengan Tuhan Allah. Reformasi ini didasarkan pada perjanjian Sinai”[6].






1.1  Perkembangan Perjanjian Dalam Kitab Taurat
Di dalam kitab taurat terdapat lima kitab yaitu, “Kejadian, Keluaran, Imamat, bilangan dan juga Ulangan”.[7] Dari kelima kitab ini, kita akan melihat tentang bagaimana konsep perjanjian yang dilakukan manusia dengan Allah. Jika kita melihat perjanjian manusia dengan manusia, kita dapat melihat kepada kisah Yonatan dengan Daud, dan juga tokoh Yakup dengan Laban, sedangkan Manusia dengan Allah, misalnya Allah dengan Nuh dan Allah dengan Abraham dan juga perjanjian di Sinai.
1.1.1.      Perjanjian Dengan Nuh
Dalam Kej 9:8-17, teks ini sejajar dengan janji Allah dalam karangan Y, yaitu Kej 8:21-22. Dalam karanagan Y hanyalah suatu kata janji biasa, tetapi di sini pengarang P mengankatnya menjadi penetatapan dan penegak kedaulatan Allah yang bersifat hukum-kekal (ay 16); P mempergunakan istilah “perjanjian” (berit; ay 9,11,12,13,15,16,17; sampai tujuh kali). Istilah itu sarat dengan makna theologis dan dapat disamakan dengan “sumpah”, “Ikrar”, “keputusan agung”, “penetapan yang merdeka dan berdaulat”. Dengan mengeluarkan dekrit yang demikian itu maka Allah mengikat diri; Ia membatasi murkaNya. Aslinya, dalam istilah perjanjian itu terkandung paham pengutukan diri sendiri: hendaklah kiranya Aku terkutuk, jika aku sekali lagi mengganyang seluruh bumi seperti yang telah pada waktu air bah. Isi perjanjian tersebut adalah penjaminan kestabilan semesta alam seperti dalam 8:21-22. Perhatikanlah, bahwa seluruh nats itu adalah firman Allah dari mulanya sampai akhirnya, manusia tidaklah menjawabnya atau mematuhinya. Perjanjian itu adalah penetapan dan penegakan kekuasaan oleh Allah sepihak saja”[8].
Kata-kata pertama Allah kepada Nuh dan anak-anaknya merupakan pengulangan ucapan berkat yang diberikan Allah pada waktu penciptaan: berkembang biak dan bertambah banyak di bumi.berkat untuk terus berkembang itu juga tetap berlaku sesudah masa air bah. Perjanjian dikemukakan oleh tradisi P sebagai antisipasi perjanjian kelak antara Allah dan Israel. Inisiatif perjanjian dan tanggung jawab untuk menjaga, seluruhnya berada di tangan Allah. Perjanjian itu ditandai dengan sebuah pelangi. Pelangi itu akan memperingatkan Allah terhadap janji untuk melestarikan dunia; dan sekaligus merupakan peringatan bagi manusia akan kesetiaan dan belas kasih Allah”[9].



1.1.2.      Perjanjian Dengan Abraham
Perjanjian dengan Abram, yang diceritakan oleh tradisi Yahwis dalam Pasal 15, sekarang diceritakan kembali oleh penulis P (17:1-14). Kisah ini sebagian besar terdiri dari amanat Allah. Hampir tidak ada perhatian manusiawi, sesuatu yang khas karya Yahwis. Disini dikemukakan lebih banyak tentang pandangan teologis, dari pada tentang reaksi Abram. Rincian waktu, perhatian teologis dan sikapnya terhadap sunat semua merupakan ciri penulis P. Seperti versi Yahwis, bagian ini pun mulai dengan pewahyuan dari diri Allah. Nama” Allah yang mahakuasa” mempunyai makna istimewa bagi penulis P, yang membatasi pemakaian nama Allah hanya pada cerita-cerita bapa bangsa. Nama itu menjadi nama khusus Allah pada periode bapa bangsa (28:3; 35:11; 48:3).
            Perjanjian sendiri dilukiskan bukan sebagai suatu sumpah yang diucapkan oleh Allah, seperti pada versi Yahwis, melainkan bentuk suatu kontrak. Allah akan memberi Abram banyak keturunan. Karena itu Abram dituntut hidup sesuai dengan kehendak Allah, tak bercela, dan melaksanakan sunat sebagai tanda perjanjian di antara mereka. Perubahan nama Abram (ay 5) menandakan relasi baru yang dijamin oleh perjanjian. Nama yang baru, Abraham, kiranya berarti “bapa banyak bangsa”. Sebenarnya nama itu hanya bentuk variasi dari Abram saja, yang berarti “bapaku (adalah) agung”[10].
1.1.3.      Perjanjian di Sinai
Perjanjian di Sinai ( Kel.19-40)[11] terjadi setelah bangsa Israel keluar dari Mesir, orang-orang Israel telah merdeka tetapi belum dapat disebut suatu bangsa. Belum ada undang-undang dasar mereka! Banyak lagi yang harus dikerjakan supaya orang-orang Israel dapat menjadi bangsa dengan identitas tersendiri, berdikari dan diakui oleh bangsa-bangsa lain. Dalam hal ini peristiwa yang paling penting ialah pengikatan perjanjian antara Tuhan Allah dengan umat Israel, yang dilaksanakan di Gunung Sinai. Di situ Musa merupakan tokoh utama, karena dia menjadi perantara dalam perjanjian tersebut.
            Orang-orang Israel yang sudah bebas dari perbudakan itu membutuhkan asas kenegaraan serta undang-undang dasar, dan itulah yang ditentukan Allah sebagaimana tercatat dalam keluaran 19-24. Oleh karena itu pasal-pasal tersebut merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam Alkitab. Lebih dahulu orang Israel berkumpul di Gunung Sinai dan kepada mereka dinyatakan tujuan Allah sewaktu memilih Israel sebagai umatNya (Kel 19:4-6a). Kemudian Allah memberi kesepuluh firman (Dasa Titah, Kel.20) dan “peraturan perjanjian” (undang-undang dasar, Kel. 21-23) kepada mereka. Hukum-hukum itu merupakan pedoman hidup umat Allah, yang mencakup hukum-hukum moral, sipil, dan keagamaan. Akhirnya diadakan upacara pengesahan perjanjian (Kel.24).
                 Kini banyak perhatian tercurah pada persamaan-persamaan bentuk yang tampak antara perjanjian Allah itu dengan naskah-naskah perjanjian Maharaja Hatti (Hetit)  “Perbandingan perjanjian Dekat kuno Timur, khususnya yang dibuat oleh Hittes pada abad ke14 dan 13 SM , dengan bagian-bagian dalam Perjanjian Lama telah mengungkapkan banyak hal kesamaan antara keduanya, terutama dalam hal bentuk, bahwa ada beberapa hubungan antara perjanjian kekuasaan raja dan uraian rinci perjanjian Yahweh dengan Israel diberikan dalam bagian-bagian tertentu dalam perjanjian  Lama”[12]. Yang dalam naskah-naskah tersebut Sang Maharaja membebankan syarat-syarat atas raja-raja taklukannya, sedangkan mereka menjanjikan kesetiaan mereka terhadap Maharaja. Bentuk naskah yang demikian itu tidak hanya terbatas pada naskah-naskah perjanjian Hatti (Hetit) bahkan boleh dikatakan timbul dan berkembang dengan sendirinya di seluruh Asia Barat Daya kuno, bilamana ada pihak kuat yang ingin merumuskan syarat-syarat perjanjian dengan pihak yang lemah . Menurut pendapat Th.C. Vriezen, yang meragukan pendapat Mendenhall tentang naskah perjanjian Hatti (Hetit), ia menyatakan “Menurut pendapat saya, dasah titah itu lebih mirip suatu kodeks hukum daripada suatu naskah perjanjian”[13].Artinya ia menyatakan bahwa dasah titah itu (Sepuluh  perintah)  adalah naskah hukum lebih dari sekedar hanya sebagai sebuah perjanjian.
1.2  Makna Teologis dari Perjanjian
Makna teologis yang di dapat dari setiap perjanjian di atas ialah bagaimana kita dapat memahami bahwa sebenarnya perjanjian itu merupakan gambaran hubungan antara Allah dengan manusia. Gambaran hubungan ini di lukiskan dalam satu istilah yaitu perjanjian, yang dimana berarti ikatan perjanjian itu merupakan tindakan keselamatan oleh Allah yang lahir dari kasih karunia dan kemurahanNya bagi manusia". inisiatif untuk mendirikan perjanjian itu bukan datang dari pihak manusia atau merupakan hasil kesepakatan bersama, melainkan berasal dari Allah sendiri. Hal ini dapat kita lihat gambaran perjanjian Allah dengan Nuh. Yang kedua perjanjian dengan Abraham dan yang ketiga ialah perjanjian di Sinai. Perjanjian di sinai tentu berbeda dengan perjanjian Maharaja Hatti, karena perjanjian Maharaja itu dikenakan secara paksa, dan timbul dari rasa takut terhadap Maharaja, sedangkan perjanjian Israel timbul dari rasa terimakasih serta ditanggung dengan kerelaan dan kegembiraan. Hak Allah atas Israel ditetapkan justru karena Dialah yang membebaskan Israel, bukan karena Dia telah menaklukkan Israel. Itu berarti bahwa timbul kewajiban moral yang menuntut ketaatan Israel terhadap kehendak Allah. Sabda Tuhan “jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa” (Kel 19:5). Gambaran hubungan antara Allah dengan umat inilah yang digambarkan dalam sebuah perjanjian yang dimana Allah mau agar umatNya itu senantiasa taat dan setia kepadaNya.
1.3  Kesimpulan Pembahasan
Dari pembahasan ini ada  satu pelajaran tentang bagaimana hubungan antara Allah dengan umatnya yang digambarkan di dalam sebuah perjanjian, perjanjian yang bertujuan untuk manusia senantiasa taat dan setia kepada Allah, dalam hal ini Allahlah yang berinisiatif untuk membuat perjanjian dengan umatNya, bukan manusia yang pertama yang memulainya, dari sini juga Allah ingin menunjukkan kasihNya bagi umatNya yang berdosa yang seringkali membuatnya bersedih, Ia tetap menunjukkan kasihNya. Dengan jalan mengadakan perjanjian itu Allah ingin memberikan manusia kesempatan untuk menanggapi kasihNya tersebut.





[1] Dr G.E. Wright dan Dr A.de Kuiper, Perjanjian Lama terhadap Sekitarnya, (Jakarta: BPK: 1967) hal 61.
[2] Gerhard Von Rad, Old Testament Theology V 1, (Edinburg and London ; 1962) Hal 130
[3] W.R.F. BR Browing, Kamus Alkitab A Dictionary oh the Bible, (Jakarta : BPK Gunung Mulia: 2009) hal. 348

[4] Dr.J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia:1988) hal.18
[5] Pdt. Dr. Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual (Jakarta: BPK Gunung Mulia; 2008) hal 178
[6] Pdt. Dr. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 1, (Bandung: Bina Media Informasi: 2009) hal 57
[7][7] Ibid hal. 09
[8] Dr. Walter Lempp, Kitab Kejadian 5:1-12:3  (Jakarta: BPK Gunung Mulia:2009) hal 100-101
[9] Dianne Bergan, CSA dan Robert J. Karris, OFM, Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius: 2002) hal
[10]  Ibid, hal 55.
[11] David L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama,  (Jakarta: BPK Gunung Mulia:2005) hal 34-35
[12] Gerhard Von Rad, Old Testament Theology Volume 1,(Edinburg and London: Oliver and Boyd, 1962) Hal 132
[13] Th,C.Vriezen, Agama Israel Kuno, (Jakarta: BPK Gunung Mulia:2000)hal 149, menurut Mendenhall berpendapat bahwa rumusan dasa titah itu merupakan bahan bukti konsep perjanjian memang merupakan hubungan dasar antara Israel dan Yahwe, dia berpendapat bahwa rumusan kalimat pendahuluan dalam Dasa Titah (Kel 20:1 dyb). Mirip sekali dengan rumusan-rumusan seperti yang terdapat dalam naskah-naskah Perjanjian Hatti (Hatit), berdasarkan kemiripin itu Mendenhall berkesimpulan: - bahwa dasa Titah harus dipandang sebagai suatu naskah perjanjian yang formal, yang kedua, bahwa Dasah Titah itu sebaya dengan naskah-naskah perjanjian Hatti . hal ini tentu di ragukan oleh Th.C Vriezen, tidak setuju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar