Selasa, 27 November 2012

Perkawinan campur



Etika Perkawinan Campur Di Dalam Perjanjian Lama
 (JHON MUSA RENDHOARD)

Pendahuluan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multi keberagaman, baik dari segi agama maupun kebudayaan oleh karena itu tidak mengherankan jikalau timbul perkawinan campur baik dari segi kepercayaan yang berbeda maupun dari suku dan budaya yang berbeda. Di dalam pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana penerapan perkawinan campur dari Perjanjian Lama, khususnya kita Ezra dan Maleakhi yang membahas masalah ini. dari pembahasan ini juga kita akan melihat bahwa apa yang melatarbelakangi perkawinan campur tersebut. Khususnya bagi bangsa Israel yang pada saat itu kembali dari pembuangan untuk kembali hidup sebagai umat Tuhan, dalam hal inilah kedua nabi ini di utus untuk mengajarkan Taurat Musa dan menanggapi masalah yang terjadi dalam umat yang berdampat bagi kehidupan religius umat.

I.                   Pembahasan
II.                Kenapa Ada Larangan Terhadapa Perkawinan Campur
Dalam tulisan-tulisan PL yang lebih muda setelah masa Pembuangan, terdapat kesan kuat bahwa perkawinan monogami (hanya satu orang istri) sangat dihargai dan dilindungi. Menurut Roland de Vaux, pada dasarnya PL menganut sistem monogami. Poligami, menurutnya, diperbolehkan sebagai suatu kekhususan atau pengecualian saja, yakni sebagai solusi dalam soal keturunan[1], namun ketika bangsa Israel kembali dari pembuangan tahun 538 sM, nabi Ezra yang diperintahkan oleh raja Artahsasta pada tahun 458 sM ke Yerusalem dengan membawa kitab Taurat Musa (Neh 8:2 ) untuk diajarkan kepada orang-orang Israel agar mentaatinya, ia  diperhadapkan dengan perkawinan campur, sikap Ezra ialah melarang perkawinan campur tersebut antara orang Yahudi dan bukan Yahudi[2]. Kitab Maleakhi yang mendukung kebijakan Ezra melarang perceraian dan kawin-campur, menghimbau umat Yehuda yang kembali dari Pembuangan agar berlaku setia terhadap “istri masa muda” (yang dinikahi sejak awal) karena dialah “teman sekutumu dan istri seperjanjianmu” (Mal. 2:14-15; band. Ams. 5:18; Pkh. 9:9). Dalam ayat 10-11 Maleakhi menuduh umat Yehuda (Israel) telah berkhianat terhadap perjanjiannya dengan Allah, karena mereka menyembah allah asing. Pengkhianatan itu dilukiskan sebagai pengkhianatan terhadap relasi perjanjian dengan Allah. hal ini dikemukakannya sebagai landasan teologis untuk mengecam perbuatan orang-orang Yehuda yang menceraikan istri yang dinikahinya sejak pertama agar mereka dapat menikah dengan perempuan lain dari bangsa-bangsa bukan Israel[3].
III.             Pembahasan Teks
v  Ezra
Ezra adalah seorang Yahudi yang tinggal di Persia, yaitu tempat dia di angkat sebagai seorang pegawai-tinggi raja Persia, Artaxerxes I Longimanus (tahun 465-424 SM). Dia adalah seorang imam yang berasal dari kaum Harun. Gelarnya yang resmi adalah imam dan ahli Taurat Allah semesta langit (Ezra 7:12,21). Dia diutus ke Yerusalem untuk memeriksa dan memperbaiki keadaan di Yerusalem dan Yehuda, dengan berpedoman kepada hukum Allah. sewaktu dia tiba di Yerusalem, dia diperhadapkan dengan perkawinan-perkawinan campuran, karena itu dia mengambil tindakan melarang perkawinan-perkawinan tersebut[4].  Sebab pada masa Ezra, perhatian terhadap kemurnian kultus dan jati diri bangsa Yahudi menuntut keturunan darah yang murni. untuk "ras suci," yaitu, kemurnian Israel sebagai umat Yahweh. Pemeliharaan hubungan yang benar antara Yahweh dan umat-Nya hanya dapat dicapai melalui kemurnian ras. Israel adalah umat yang kudus, dipilih oleh Allah yang kudus (Im xi 44; Isa vi 13), keturunan Abraham (II Taw7). Israel telah dipisahkan untuk Yahweh (Ul vii 6) sebagai hamba-Nya (Yesaya1) bagi bangsa-bangsa (Yes 6), yang tidak bisa dilakukan dengan kompromi melalui mempermudah iman , seperti yang tampak dari pengalaman tidak hanya dari mereka yang tetap tinggal di tanah selama Pembuangan tetapi juga banyak yang memilih untuk tetap tinggal di Babel[5]. Keadaan itu dilaporkan kepada Ezra: awam dan juga imam telah mengambil istri asing, dan lebih jelek lagi sebab mereka itu adalah para pemimpin komunitas. Penduduk negeri itu yang disebut disini mempunyai persamaan dengan yang disebut dalam Ul 7:1; Yos 3:10; 24:12. Para pelanggar itu juga dikaitkan dengan “hal yang sangat menjijikan” dari para istri mereka; perkawinan telah menyebabkan mereka berhubungan dengan penyembahan berhala kepada allah-allah lain.
      Ezra sedih mendengar laporan itu. ia lalu mengoyak jubahnya dan mencabut rambutnya, suatu ungkapan tradisional kesedihan. Ketika asap kurban petang membumbung menandai waktu sembahyang, Ezra berlutut lalu merentangkan tangan. Ezra memulai doanya menggunakan nama diri orang pertama tunggal, namun segera berubah ke orang pertama jamak, yang terus digunakan sepanjang pengakuan dosa itu. ezra menyatakan bahwa seluruh sejarah Israel bercirikan dosa yang mengakibatkan kejatuhan bangsa itu dan pembuangan Babel (ay.7) Masa lampau yang penuh dosa itu menyediakan perspektif bagi Ezra untuk menginterprestasikan situasi Israel saat itu. di masa itu, penawanan, yang merupakan wujud keadilan Allah, telah memberi jalan pada belas kasih Allah. sekelompok sisa orang Yahudi tetap di pelihara dan sekali lagi bahwa kembali ke Yerusalem. Seperti  bagian-bagian lain Kitab Ezra, tanda kebaikan hati ilahi ini dihubungkan dengan kebaikan kaisar Persia kepada orang-orang buangan. Hasil akhir kebaikan ilahi dan manusiawi berupa dibangunnya kembali Bait Suci dan terjaminnya Yerusalem dan Yehuda (ay. 8-9). Akan tetapi, kebaikan hati itu kini dalam bahaya. Tanah dan penghuninya tidak setia (lih. Im 18:24-25), dan Israel telah melanggar perintah Allah dengan menikahi orang asing (Ul 7:1-4). Pantas dicatat bahwa tradisi Deuteronomis yang dikutip Ezra melarang perkawinan wanita Israel dengan lelaki asing, maupun lelaki Israel dengan wanita asing. Pandangan yang lebih ingklusif daripada pembaruan Ezra sendiri, yang hanya melarang perkawinan pria Yahudi dengan wanita asing. Meskipun Ezra secara eksplisit menujukan pertanyaan kepada Allah dalam ayat 13-14, namun pembaca dapat merasakan bahwa pertanyaan itu juga ditujukan kepada orang Yahudi yang sedang berkumpul untuk beribadat, agar mereka menyadari apa yang ada di tengah-tengah mereka. Apakah mereka tidak belajar bahwa hukuman menyusul dosa? Bila Allah ingin menghukum kesalahan mereka saat itu, tidakkah orang Yahudi yang sekarang tinggal di Israel akan hancur total? Keadilan pasti ada, tetapi belas kasih adalah anugerah. Segerah tindakan pemisahan perkawinan campur pun mulai. Ezra menuntut agar para imam dan rakyat bersumpah untuk melakukan hal itu. orang buangan di seluruh negeri (maksudnya, semua anggota resmi komunitas Yahudi) diminta datang ke Yerusalem dalam waktu tiga hari, di bawah ancaman penyitaan dan pengucilan[6].

v  Maleakhi
Kitab ini ditulis oleh seorang nabi yang menyebut dirinya Maleakhi. Di dalam Septuaginta nama Maleakhi pada fasal 1:1 diterjemahkan dengan kata “UtusanKu”. Rupa-rupanya nama ini diambil-alih dari fasal 3:1, dimana Yahwe mengatakan “lihatlah Aku menyuruh utusanKu” (dalam bahasa Ibrani “maleakhi”). Nabi yang namanya Maleakhi mungkin tidak ada. Sebutan Maleakhi bukanlah sebuah nama, melainkan jabatan, yang berarti utusanku. Mengenai masa nubuatnya hanya dapat diperkirakan berdasarkan beberapa petunjuk seperti, ada kesan Bait Allah kedua sudah dibangun. Di samping itu, perkawinan campur dan perceraian sudah menjadi masalah besar”[7]. Khususnya pada bagian pasal 2:10-16.  Bagian pertama, yaitu ayat 10, adalah tentang ketidak-setiaan orang-orang Yahudi satu sama lain. Tuhan memilih mereka sebagai umatNya, sehingga mereka semua dalam keluargaNya dan seharusnya saling memperlakukan secara setia. Mengkhianati sesama anggota umat Tuhan, berarti : Keluarga Tuhan terpisah dan perjanjianNya dengan Israel dinajiskan. Relasi orang dengan Tuhan berhubungan erat dengan relasinya dengan sesama manusia, atau sekurang-kurangnya dengan semua anggota umat Tuhan. Bagian kedua, yaitu ayat 11-12, adalah tentang ketidak-setiaan di bidang agama. Orang-orang Yahudi beribadah kepada dewa-dewa asing, dan menajiskan Bait Suci dengan berhala-berhala dan ritus-ritus mereka. Karena ibadah demikian itu sering merupakan hasil dari perkawinan campuran, sehingga kiasaan tentang “suami anak perempuan allah asing” adalah sangat cocok. Bagian ketiga, yaitu ayat 13-16, adalah tentang ketidak-setiaan dalam perkawinan, yang menghasilkan perceraiaran. Kita bisa memperhatikan bahwa bagian ini berisi ketiga unsur yang biasa dalam perikop-perikop kitab Maleakhi.
Nabi mengemukakan pertanyaan retoris dengan menyebutkan kenyataan dari dari pengalaman jemaat bahwa asal usul mereka sama,( ayt. 10a; bdk. Ul 32:6; Yes 63:16; 64:8). Dengan menunjuk kepada tradisi sejarah yang sama, nabi menyebutkan mengenai “penghianatan” yang telah dilakukan oleh Yehuda, Yerusalem, dan Israel (ay 11a). “penghianatan” adalah istilah teknis untuk menyebut penyembahan berhala yang dilarang oleh perjanjian (Lih. Ula 32:16; Yes 44:19). Jemaat yang sekarang adalah bersalah karena pelanggaran yang sama (ay, 11b). Perkawinan campur melanggar perjanjian dengan Tuhan dan ikatan yang mempersatukan jemaat (lih. Kel 34:13-16; Ul 7:1-4), bagian pertama ditutup dengan kutukan yang mengancam (ay. 12a). Pengucilan dari jemaat dan larangan untuk mempersembahkan  kurban di Bait suci merupakan hukuman sipil dan keagamaan yang berkaitan erat[8].
Menurut keterangan yang pertama (ayat 13), orang-orang Yahudi mengasihi dirinya sendiri dan menangis (barangkali secara kiasan saja) untuk dirinya sendiri karena persoalan dan kesulitan mereka tidak dikurangi dan rupa-rupanya korban mereka tidak diterima Tuhan dengan baik hati. Sesudah orang-orang Yahudi bertanya “oleh karena apa?”, maka Tuhan memberikan alasan. Mereka tidak setia kepada isteri-isterinya. Perkawinan bukan merupakan hal yang diurus antara dua orang saja untuk kepentingan sendiri, tetapi perjanjian yang dimasuki dengan upacara di hadapan Tuhan (ayat 14). Anak-anak yang menghormati dan menaati Tuhan merupakan hasil dari perkawinan yang benar, dan perceraian dan kekerasan adalah melawan kehendak Tuhan untuk perkawinan (ayat 15-16)[9].
IV.             Dasar Etika
Konsep atau dasar pemikiran Etika dari nabi Ezra tentang perkawinan campur ialah berdasarkan kepada Taurat, dengan berdasarkan kepada Tauratlah Ezra melarang umat agar tidak melakukan perkawinan campur, bahkan ia menyuruh untuk menceraikan pasangan bangsa asing (non Yahudi) untuk diceraikan. Sikap Ezra ini dapat di mengerti sebab ia tidak ingin agar kemurnian kultus dan jati diri dari bangsa Yahudi tidak bercampur dengan bangsa-bangsa yang lainnya yang pada saat itu diperhadapkan dengan situasi menurunnya jumlah dari umat Israel dan juga umat yang mengikuti kultus penyembahan allah-allah asing di sebabkan mereka mengikuti para pasangan asingnya yang menyembah kepada allah-allah asing. begitupulah dengan Maleaki, ia pun melarang dan menentang terhadap perkawinan campur, namun Maleaki lebih mendasari kepada perjanjian umat dengan Allah, nabi melihat bahwa perjanjian itu tidak dihargai dan dipegang oleh umat, sebab menurut nabi itu adalah perbuatan dosa yang besar yang disamakan dengan dosa “penghianatan”.
IV.             Nilai Etika Perkawinan Campur
Dari kedua kitab ini, yang membahas perkawinan campur jika kita amati memiliki nilai Etika yang mendalam bagi kita untuk dipelajari bukan masalah mengawini dengan bangsa asing tetapi lebih kepada sikap hati dan kekerabatan serta kekudusan umat agar tidak terjadinya singkretisme . Nilai dari Etika perkawinan campur ini adalah, bagi Ezra ialah  perkawinan campur menjaga agar ras Yahudi atau menjaga kekerabatan itu dan yang penting ialah menjaga kekudusan umat dari allah-allah asing yang nanti akan masuk dalam hidup umat Allah dan bagi Maleaki ialah tentang bagaimana umat menjaga kesetiaan itu di dalam perjanjiannya baik dengan sesama dan terlebih dengan Tuhan sebab pernikahan bukan saja diantara Istri dengan Suami melainkan perjanjian itu dilakukan dengan Tuhan.

V.                Penerapan
Di Indonesia, masalah perkawinan campur merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh bangsa ini, hal ini dikarenakan bangsa Indonesia merupakan negara yang religius / negara yang beragama dan juga negara yang berbudaya, hal ini terbukti dengan adanya agama-agama besar di dunia ada di negara ini, seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buhda dan juga Kon Hu Cu dan juga terdiri dari 33 propinsi serta ribuan suku dan adat. Oleh karena itu tidak dipungkiri bahwa pasti terdapat perkawinan campur antar agama-agama yang berbeda, misalnya Kristen dan juga Islam dan juga perkawinan yang berbeda antar suku seperti Madura dengan Jawa atau dengan antar suku yang lainnya, tentu ini bukanlah hal yang dengan mudah di terimah atau disahkan oleh negara maupun oleh masing-masing agama serta budaya masing-masing. Misalnya di dalam pernikahan antar budaya yang berbeda. Antara budaya Batak dengan budaya Jawa, budaya Batak memiliki budaya pernikahannya sendiri yaitu pernikahan pariban yang tentunya hanya di antara orang batak sendiri, baik antar paribannya maupun dengan orang batak yang lainnya. demikian juga dengan suku-suku tertentu yang masih memelihara pernikahan antar marga/ fam, atau juga antar kerabat yang dekat. Artinya bagi suku-suku tertentu ini, mereka masih menekankan tentang kekerabatan yang kuat serta persekutuan yang kuat di antara mereka, baik dengan alasan itu atau juga dengan alasan agar keturunannya tetap terpelihara. Kemudian bagi pernikahan antar agama yang berbeda, misalnya Kristen dengan non-Kristen, tentu bagi Kekristenan sendiri yang berpedoman pada hukum atau tata gereja menolak untuk memberkati pasangan-pasangan yang berbeda ini, demikian sebaliknya bagi yang non Kristen seperti Muslim yang begitu menekankan hukum kitabnya yang menolak perkawinan dengan orang yang berbeda sebab menurut mereka diluar keyakinan mereka adalah kafir[10]. Artinya bagi agama-agamapun menolak akan pernikahan yang berbeda keyakinan ini. dengan alasan berdasarkan doktrin maupun pemahaman iman mereka sehingga sangat sulit sekali di lakukan. Padahal perkawinan merupakan Hak Asasi dari setiap manusia, artinya jika kita berangkat dari ini maka perkawinan campur dapat di terima dan bisa di terapkan oleh Bangsa kita yang majemuk ini. kisah cinta yang kemudian berlanjut pada perkawinan memang tak mampu untuk mempertimbangkan segala sesuatu secara rasional, termasuk soal keberbedaan agama. Cinta atau kasih yang tulus, yang merasuki kalbu tak kuasa lagi dibendung hanya karena adanya keberbedaan agama. Di situlah muncul soal, karena UU No. 1/1974 tidak secara eksplisit mengatur perkawinan dari mereka yang berbeda agama. Dengan berangkat dari itu pengalaman konkritnya itulah Ketua Mahkamah Agung Prof. Zainal Asikin Atmaja, SH dan Komisi III DPR-RI tiba pada pendapat bahwa perlu dilakukan penyempurnaan tentang UU No. 1/ 1974, sehingga masalah-masalah yang muncul diseputar pelaksaan UU tersebut, khususnya perkawinan antar agama dapat di atasi dengan baik[11]. Namun kenyataannya sampai sekarang UU tersebut belum menemukan kesepakatannya oleh karena berbagai macam hal baik dari segi agama maupun politik. Oleh karena itu tidak heran jika bagi yang ingin menikah dengan masalah ini maka satu-satunya jalan ialah mereka yang berbeda keyakinan ini memilih untuk menikah di luar negeri yang lebih bertolak kepada Hak Asasi Manusia. pertanyaannya kapankah negara kita dapat menerapkan pernikahan yang berbeda ini?.. sebab ini bukanlah berkaitan dengan masalah dengan keyakinan namun berkaitan dengan masalah Hak Asasi Manusia.
Tentunya dalam keKristenan sendiri menanggapi masalah ini, tentu masih ada yang menolak namun juga ada yang menerimannya tinggal bagaimana kita dapat menerapkan itu dengan sebaiknya. Ezra dan Maleakhi menolak itu disebabkan oleh beberapa alasan yang sesuai dengan konteks mereka pertanyaannya bagaimana dengan KeKristenan sekarang ini, Kekristenan sekaran ini lebih berpatukan kepada hukum dan tata gereja sehingga perkawinan inipun di tolak, namun bagi gereja-gereja tertentu yang tidak menekankan akan hal ini, yang lebih melihat dari segi Hak Kemanusiaannya mereka memilih untuk memberkati dan menyetujuinya. Bagi gereja-gereja di Indonesia sendiri tentu ini masih tabu dan belum bisa menerapkannya disebabkan bentuk keimanan dan penerapan hukum tata gereja yang berlaku yang memiliki nilai etika tersendiri yang harus diperhatikan dengan baik.


Daftar Pustaka
Coggins, R.J. The Cambridge Bible Commentary, On the New Englis Biblic, The Book Of Ezra and Nehemia Commentary. Cambridge Universitas Press.
Williamsong, H.G.M. Word Biblical Commentary Ezra, Nehemia. Thomas Nelson Publishers, Colombia, 1985.
Wahono, Wismoady. Prof. S. Di Sini Kutemukan,Cet. 15,  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Vaux, De, Roland. Ancient Israel, Volume 1 Social Institutions, New York Toronto: McGraw-Hill Book Company, 1965.
Blommendaal, J.Dr. Pengantar Kepada Perjanjian Lama,Cet. 4, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.
Ludji, Barnabas. Pdt. Dr. Pemahaman dasar Perjanjian Lama 2, Bandung: BMI, 2009.
Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Editor: Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
The Anchor Bible, Hal 76
 Smith, s. Raphh, Word Biblical Commentary Micah – Malachi, Texas: Word Books, Publisher


[1] Roland de Vaux, Ancient Israel, Volume 1, McGraw-Hill Book Company, New York Toronto, 1986. Hal 24-26
[2] Prof. S. Wismoady Wahono, Ph.D, Di Sini Kutemukan, Cet. 15, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. Hal 260
[3] Pdt. Dr. Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. Hal 85
[4] Dr. J. Blommendaal, pengantar kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988) Hal. 168
[5] The Anchor Bible, Hal 76
[6] Rita J. Burns, Ezra dan Nehemia, Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama,Yogyakarta: Kanisius, 2002: hal 367
[7] Pdt. Dr. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2, (Bandung : BMI, 2009) Hal. 141
[8] Mary Margaret Pazdan, OP, Maleakhi, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius; 2002. Hal 734
[9] Robert M. Paterson, Tafsir Alkitab, Kitab Nabi Maleakhi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985) hal 41
[10] Kafir adalah orang yang tidak percaya kepada Allah atau para rasulnya. Dan hal inilah yang dipegang oleh umat muslim atau umat Islam.
[11] Pdt. Weinata Sairin, M.Th & Pdt. Dr. J.M. Pattiasina, Pelaksanaan Undang-undang perkawinan dalam perspektif Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Hal 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar