Etika
Perkawinan Campur Di Dalam Perjanjian Lama
Pendahuluan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
multi keberagaman, baik dari segi agama maupun kebudayaan oleh karena itu tidak
mengherankan jikalau timbul perkawinan campur baik dari segi kepercayaan yang
berbeda maupun dari suku dan budaya yang berbeda. Di dalam pembahasan ini, kita
akan melihat bagaimana penerapan perkawinan campur dari Perjanjian Lama,
khususnya kita Ezra dan Maleakhi yang membahas masalah ini. dari pembahasan ini
juga kita akan melihat bahwa apa yang melatarbelakangi perkawinan campur
tersebut. Khususnya bagi bangsa Israel yang pada saat itu kembali dari
pembuangan untuk kembali hidup sebagai umat Tuhan, dalam hal inilah kedua nabi
ini di utus untuk mengajarkan Taurat Musa dan menanggapi masalah yang terjadi
dalam umat yang berdampat bagi kehidupan religius umat.
I.
Pembahasan
II.
Kenapa
Ada Larangan Terhadapa Perkawinan Campur
Dalam tulisan-tulisan PL yang lebih muda
setelah masa Pembuangan, terdapat kesan kuat bahwa perkawinan monogami (hanya
satu orang istri) sangat dihargai dan dilindungi. Menurut Roland de Vaux, pada
dasarnya PL menganut sistem monogami. Poligami, menurutnya, diperbolehkan
sebagai suatu kekhususan atau pengecualian saja, yakni sebagai solusi dalam
soal keturunan[1],
namun ketika bangsa Israel kembali dari pembuangan tahun 538 sM, nabi Ezra yang
diperintahkan oleh raja Artahsasta pada tahun 458 sM ke Yerusalem dengan
membawa kitab Taurat Musa (Neh 8:2 ) untuk diajarkan kepada orang-orang Israel
agar mentaatinya, ia diperhadapkan
dengan perkawinan campur, sikap Ezra ialah melarang perkawinan campur tersebut
antara orang Yahudi dan bukan Yahudi[2]. Kitab
Maleakhi yang mendukung kebijakan Ezra melarang perceraian dan kawin-campur,
menghimbau umat Yehuda yang kembali dari Pembuangan agar berlaku setia terhadap
“istri masa muda” (yang dinikahi sejak awal) karena dialah “teman sekutumu dan
istri seperjanjianmu” (Mal. 2:14-15; band. Ams. 5:18; Pkh. 9:9). Dalam ayat
10-11 Maleakhi menuduh umat Yehuda (Israel) telah berkhianat terhadap
perjanjiannya dengan Allah, karena mereka menyembah allah asing. Pengkhianatan
itu dilukiskan sebagai pengkhianatan terhadap relasi perjanjian dengan Allah.
hal ini dikemukakannya sebagai landasan teologis untuk mengecam perbuatan
orang-orang Yehuda yang menceraikan istri yang dinikahinya sejak pertama agar
mereka dapat menikah dengan perempuan lain dari bangsa-bangsa bukan Israel[3].
III.
Pembahasan
Teks
v Ezra
Ezra adalah seorang Yahudi yang tinggal di
Persia, yaitu tempat dia di angkat sebagai seorang pegawai-tinggi raja Persia,
Artaxerxes I Longimanus (tahun 465-424 SM). Dia adalah seorang imam yang
berasal dari kaum Harun. Gelarnya yang resmi adalah imam dan ahli Taurat Allah
semesta langit (Ezra 7:12,21). Dia diutus ke Yerusalem untuk memeriksa dan
memperbaiki keadaan di Yerusalem dan Yehuda, dengan berpedoman kepada hukum
Allah. sewaktu dia tiba di Yerusalem, dia diperhadapkan dengan
perkawinan-perkawinan campuran, karena itu dia mengambil tindakan melarang
perkawinan-perkawinan tersebut[4]. Sebab pada masa Ezra, perhatian terhadap
kemurnian kultus dan jati diri bangsa Yahudi menuntut keturunan darah yang murni. untuk "ras suci," yaitu, kemurnian Israel
sebagai umat Yahweh. Pemeliharaan hubungan yang benar antara Yahweh dan
umat-Nya hanya dapat dicapai melalui kemurnian ras. Israel adalah umat yang
kudus, dipilih oleh Allah yang kudus (Im xi 44; Isa vi 13), keturunan Abraham
(II Taw7). Israel telah dipisahkan untuk Yahweh (Ul vii 6) sebagai hamba-Nya
(Yesaya1) bagi bangsa-bangsa (Yes 6), yang tidak bisa dilakukan dengan kompromi
melalui mempermudah iman , seperti yang tampak dari pengalaman tidak hanya dari
mereka yang tetap tinggal di tanah selama Pembuangan tetapi juga banyak yang
memilih untuk tetap tinggal di Babel[5].
Keadaan itu dilaporkan kepada Ezra: awam dan juga imam telah mengambil istri
asing, dan lebih jelek lagi sebab mereka itu adalah para pemimpin komunitas.
Penduduk negeri itu yang disebut disini mempunyai persamaan dengan yang disebut
dalam Ul 7:1; Yos 3:10; 24:12. Para pelanggar itu juga dikaitkan dengan “hal
yang sangat menjijikan” dari para istri mereka; perkawinan telah menyebabkan
mereka berhubungan dengan penyembahan berhala kepada allah-allah lain.
Ezra
sedih mendengar laporan itu. ia lalu mengoyak jubahnya dan mencabut rambutnya,
suatu ungkapan tradisional kesedihan. Ketika asap kurban petang membumbung
menandai waktu sembahyang, Ezra berlutut lalu merentangkan tangan. Ezra memulai
doanya menggunakan nama diri orang pertama tunggal, namun segera berubah ke
orang pertama jamak, yang terus digunakan sepanjang pengakuan dosa itu. ezra
menyatakan bahwa seluruh sejarah Israel bercirikan dosa yang mengakibatkan
kejatuhan bangsa itu dan pembuangan Babel (ay.7) Masa lampau yang penuh dosa
itu menyediakan perspektif bagi Ezra untuk menginterprestasikan situasi Israel
saat itu. di masa itu, penawanan, yang merupakan wujud keadilan Allah, telah
memberi jalan pada belas kasih Allah. sekelompok sisa orang Yahudi tetap di
pelihara dan sekali lagi bahwa kembali ke Yerusalem. Seperti bagian-bagian lain Kitab Ezra, tanda kebaikan
hati ilahi ini dihubungkan dengan kebaikan kaisar Persia kepada orang-orang
buangan. Hasil akhir kebaikan ilahi dan manusiawi berupa dibangunnya kembali
Bait Suci dan terjaminnya Yerusalem dan Yehuda (ay. 8-9). Akan tetapi, kebaikan
hati itu kini dalam bahaya. Tanah dan penghuninya tidak setia (lih. Im
18:24-25), dan Israel telah melanggar perintah Allah dengan menikahi orang
asing (Ul 7:1-4). Pantas dicatat bahwa tradisi Deuteronomis yang dikutip Ezra
melarang perkawinan wanita Israel dengan lelaki asing, maupun lelaki Israel
dengan wanita asing. Pandangan yang lebih ingklusif daripada pembaruan Ezra
sendiri, yang hanya melarang perkawinan pria Yahudi dengan wanita asing.
Meskipun Ezra secara eksplisit menujukan pertanyaan kepada Allah dalam ayat
13-14, namun pembaca dapat merasakan bahwa pertanyaan itu juga ditujukan kepada
orang Yahudi yang sedang berkumpul untuk beribadat, agar mereka menyadari apa
yang ada di tengah-tengah mereka. Apakah mereka tidak belajar bahwa hukuman
menyusul dosa? Bila Allah ingin menghukum kesalahan mereka saat itu, tidakkah
orang Yahudi yang sekarang tinggal di Israel akan hancur total? Keadilan pasti
ada, tetapi belas kasih adalah anugerah. Segerah tindakan pemisahan perkawinan
campur pun mulai. Ezra menuntut agar para imam dan rakyat bersumpah untuk
melakukan hal itu. orang buangan di seluruh negeri (maksudnya, semua anggota
resmi komunitas Yahudi) diminta datang ke Yerusalem dalam waktu tiga hari, di
bawah ancaman penyitaan dan pengucilan[6].
v Maleakhi
Kitab ini ditulis oleh seorang nabi yang
menyebut dirinya Maleakhi. Di dalam Septuaginta nama Maleakhi pada fasal 1:1
diterjemahkan dengan kata “UtusanKu”. Rupa-rupanya nama ini diambil-alih dari
fasal 3:1, dimana Yahwe mengatakan “lihatlah Aku menyuruh utusanKu” (dalam
bahasa Ibrani “maleakhi”). Nabi yang namanya Maleakhi mungkin tidak ada.
Sebutan Maleakhi bukanlah sebuah nama, melainkan jabatan, yang berarti
utusanku. Mengenai masa nubuatnya hanya dapat diperkirakan berdasarkan beberapa
petunjuk seperti, ada kesan Bait Allah kedua sudah dibangun. Di samping itu,
perkawinan campur dan perceraian sudah menjadi masalah besar”[7].
Khususnya pada bagian pasal 2:10-16.
Bagian pertama, yaitu ayat 10, adalah tentang ketidak-setiaan
orang-orang Yahudi satu sama lain. Tuhan memilih mereka sebagai umatNya,
sehingga mereka semua dalam keluargaNya dan seharusnya saling memperlakukan
secara setia. Mengkhianati sesama anggota umat Tuhan, berarti : Keluarga Tuhan
terpisah dan perjanjianNya dengan Israel dinajiskan. Relasi orang dengan Tuhan
berhubungan erat dengan relasinya dengan sesama manusia, atau
sekurang-kurangnya dengan semua anggota umat Tuhan. Bagian kedua, yaitu ayat
11-12, adalah tentang ketidak-setiaan di bidang agama. Orang-orang Yahudi
beribadah kepada dewa-dewa asing, dan menajiskan Bait Suci dengan
berhala-berhala dan ritus-ritus mereka. Karena ibadah demikian itu sering
merupakan hasil dari perkawinan campuran, sehingga kiasaan tentang “suami anak
perempuan allah asing” adalah sangat cocok. Bagian ketiga, yaitu ayat 13-16,
adalah tentang ketidak-setiaan dalam perkawinan, yang menghasilkan
perceraiaran. Kita bisa memperhatikan bahwa bagian ini berisi ketiga unsur yang
biasa dalam perikop-perikop kitab Maleakhi.
Nabi mengemukakan pertanyaan retoris
dengan menyebutkan kenyataan dari dari pengalaman jemaat bahwa asal usul mereka
sama,( ayt. 10a; bdk. Ul 32:6; Yes 63:16; 64:8). Dengan menunjuk kepada tradisi
sejarah yang sama, nabi menyebutkan mengenai “penghianatan” yang telah
dilakukan oleh Yehuda, Yerusalem, dan Israel (ay 11a). “penghianatan” adalah
istilah teknis untuk menyebut penyembahan berhala yang dilarang oleh perjanjian
(Lih. Ula 32:16; Yes 44:19). Jemaat yang sekarang adalah bersalah karena
pelanggaran yang sama (ay, 11b). Perkawinan campur melanggar perjanjian dengan
Tuhan dan ikatan yang mempersatukan jemaat (lih. Kel 34:13-16; Ul 7:1-4),
bagian pertama ditutup dengan kutukan yang mengancam (ay. 12a). Pengucilan dari
jemaat dan larangan untuk mempersembahkan
kurban di Bait suci merupakan hukuman sipil dan keagamaan yang berkaitan
erat[8].
Menurut keterangan yang pertama (ayat
13), orang-orang Yahudi mengasihi dirinya sendiri dan menangis (barangkali
secara kiasan saja) untuk dirinya sendiri karena persoalan dan kesulitan mereka
tidak dikurangi dan rupa-rupanya korban mereka tidak diterima Tuhan dengan baik
hati. Sesudah orang-orang Yahudi bertanya “oleh karena apa?”, maka Tuhan
memberikan alasan. Mereka tidak setia kepada isteri-isterinya. Perkawinan bukan
merupakan hal yang diurus antara dua orang saja untuk kepentingan sendiri,
tetapi perjanjian yang dimasuki dengan upacara di hadapan Tuhan (ayat 14).
Anak-anak yang menghormati dan menaati Tuhan merupakan hasil dari perkawinan
yang benar, dan perceraian dan kekerasan adalah melawan kehendak Tuhan untuk
perkawinan (ayat 15-16)[9].
IV.
Dasar Etika
Konsep atau dasar pemikiran Etika dari
nabi Ezra tentang perkawinan campur ialah berdasarkan kepada Taurat, dengan
berdasarkan kepada Tauratlah Ezra melarang umat agar tidak melakukan perkawinan
campur, bahkan ia menyuruh untuk menceraikan pasangan bangsa asing (non Yahudi)
untuk diceraikan. Sikap Ezra ini dapat di mengerti sebab ia tidak ingin agar
kemurnian kultus dan jati diri dari bangsa Yahudi tidak bercampur dengan bangsa-bangsa
yang lainnya yang pada saat itu diperhadapkan dengan situasi menurunnya jumlah
dari umat Israel dan juga umat yang mengikuti kultus penyembahan allah-allah
asing di sebabkan mereka mengikuti para pasangan asingnya yang menyembah kepada
allah-allah asing. begitupulah dengan Maleaki, ia pun melarang dan menentang
terhadap perkawinan campur, namun Maleaki lebih mendasari kepada perjanjian
umat dengan Allah, nabi melihat bahwa perjanjian itu tidak dihargai dan
dipegang oleh umat, sebab menurut nabi itu adalah perbuatan dosa yang besar
yang disamakan dengan dosa “penghianatan”.
IV.
Nilai
Etika Perkawinan Campur
Dari kedua kitab ini, yang membahas
perkawinan campur jika kita amati memiliki nilai Etika yang mendalam bagi kita
untuk dipelajari bukan masalah mengawini dengan bangsa asing tetapi lebih
kepada sikap hati dan kekerabatan serta kekudusan umat agar tidak terjadinya singkretisme . Nilai dari Etika perkawinan campur ini
adalah, bagi Ezra ialah perkawinan
campur menjaga agar ras Yahudi atau menjaga kekerabatan itu dan yang penting ialah menjaga kekudusan umat dari allah-allah asing yang nanti akan masuk dalam hidup umat Allah dan bagi Maleaki
ialah tentang bagaimana umat menjaga kesetiaan itu di dalam perjanjiannya baik
dengan sesama dan terlebih dengan Tuhan sebab pernikahan bukan saja diantara
Istri dengan Suami melainkan perjanjian itu dilakukan dengan Tuhan.
V.
Penerapan
Di Indonesia, masalah perkawinan campur
merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh bangsa ini, hal ini dikarenakan
bangsa Indonesia merupakan negara yang religius / negara yang beragama dan juga
negara yang berbudaya, hal ini terbukti dengan adanya agama-agama besar di
dunia ada di negara ini, seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu,
Buhda dan juga Kon Hu Cu dan juga terdiri dari 33 propinsi serta ribuan suku
dan adat. Oleh karena itu tidak dipungkiri bahwa pasti terdapat perkawinan
campur antar agama-agama yang berbeda, misalnya Kristen dan juga Islam dan juga
perkawinan yang berbeda antar suku seperti Madura dengan Jawa atau dengan antar
suku yang lainnya, tentu ini bukanlah hal yang dengan mudah di terimah atau
disahkan oleh negara maupun oleh masing-masing agama serta budaya masing-masing.
Misalnya di dalam pernikahan antar budaya yang berbeda. Antara budaya Batak
dengan budaya Jawa, budaya Batak memiliki budaya pernikahannya sendiri yaitu
pernikahan pariban yang tentunya hanya di antara orang batak sendiri, baik
antar paribannya maupun dengan orang batak yang lainnya. demikian juga dengan
suku-suku tertentu yang masih memelihara pernikahan antar marga/ fam, atau juga
antar kerabat yang dekat. Artinya bagi suku-suku tertentu ini, mereka masih
menekankan tentang kekerabatan yang kuat serta persekutuan yang kuat di antara
mereka, baik dengan alasan itu atau juga dengan alasan agar keturunannya tetap
terpelihara. Kemudian bagi pernikahan antar agama yang berbeda, misalnya
Kristen dengan non-Kristen, tentu bagi Kekristenan sendiri yang berpedoman pada
hukum atau tata gereja menolak untuk memberkati pasangan-pasangan yang berbeda
ini, demikian sebaliknya bagi yang non Kristen seperti Muslim yang begitu
menekankan hukum kitabnya yang menolak perkawinan dengan orang yang berbeda
sebab menurut mereka diluar keyakinan mereka adalah kafir[10].
Artinya bagi agama-agamapun menolak akan pernikahan yang berbeda keyakinan ini.
dengan alasan berdasarkan doktrin maupun pemahaman iman mereka sehingga sangat
sulit sekali di lakukan. Padahal perkawinan merupakan Hak Asasi dari setiap
manusia, artinya jika kita berangkat dari ini maka perkawinan campur dapat di
terima dan bisa di terapkan oleh Bangsa kita yang majemuk ini. kisah cinta yang
kemudian berlanjut pada perkawinan memang tak mampu untuk mempertimbangkan segala
sesuatu secara rasional, termasuk soal keberbedaan agama. Cinta atau kasih yang
tulus, yang merasuki kalbu tak kuasa lagi dibendung hanya karena adanya
keberbedaan agama. Di situlah muncul soal, karena UU No. 1/1974 tidak secara
eksplisit mengatur perkawinan dari mereka yang berbeda agama. Dengan berangkat
dari itu pengalaman konkritnya itulah Ketua Mahkamah Agung Prof. Zainal Asikin
Atmaja, SH dan Komisi III DPR-RI tiba pada pendapat bahwa perlu dilakukan
penyempurnaan tentang UU No. 1/ 1974, sehingga masalah-masalah yang muncul
diseputar pelaksaan UU tersebut, khususnya perkawinan antar agama dapat di
atasi dengan baik[11].
Namun kenyataannya sampai sekarang UU tersebut belum menemukan kesepakatannya
oleh karena berbagai macam hal baik dari segi agama maupun politik. Oleh karena
itu tidak heran jika bagi yang ingin menikah dengan masalah ini maka
satu-satunya jalan ialah mereka yang berbeda keyakinan ini memilih untuk
menikah di luar negeri yang lebih bertolak kepada Hak Asasi Manusia.
pertanyaannya kapankah negara kita dapat menerapkan pernikahan yang berbeda
ini?.. sebab ini bukanlah berkaitan dengan masalah dengan keyakinan namun
berkaitan dengan masalah Hak Asasi Manusia.
Tentunya dalam keKristenan sendiri
menanggapi masalah ini, tentu masih ada yang menolak namun juga ada yang
menerimannya tinggal bagaimana kita dapat menerapkan itu dengan sebaiknya. Ezra
dan Maleakhi menolak itu disebabkan oleh beberapa alasan yang sesuai dengan
konteks mereka pertanyaannya bagaimana dengan KeKristenan sekarang ini, Kekristenan
sekaran ini lebih berpatukan kepada hukum dan tata gereja sehingga perkawinan
inipun di tolak, namun bagi gereja-gereja tertentu yang tidak menekankan akan
hal ini, yang lebih melihat dari segi Hak Kemanusiaannya mereka memilih untuk
memberkati dan menyetujuinya. Bagi gereja-gereja di Indonesia sendiri tentu ini
masih tabu dan belum bisa menerapkannya disebabkan bentuk keimanan dan
penerapan hukum tata gereja yang berlaku yang memiliki nilai etika tersendiri yang harus diperhatikan dengan baik.
Daftar
Pustaka
Coggins, R.J.
The Cambridge Bible Commentary, On the New Englis Biblic, The Book Of Ezra and
Nehemia Commentary. Cambridge Universitas Press.
Williamsong, H.G.M.
Word Biblical Commentary Ezra, Nehemia.
Thomas Nelson Publishers, Colombia, 1985.
Wahono, Wismoady. Prof.
S.
Di Sini Kutemukan,Cet. 15, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Vaux, De, Roland.
Ancient Israel, Volume 1 Social
Institutions, New York Toronto: McGraw-Hill Book Company, 1965.
Blommendaal, J.Dr.
Pengantar Kepada Perjanjian Lama,Cet.
4, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.
Ludji, Barnabas. Pdt.
Dr.
Pemahaman dasar Perjanjian Lama 2,
Bandung: BMI, 2009.
Lembaga Biblika
Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Editor: Dianne
Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
The Anchor Bible,
Hal 76
Smith,
s. Raphh, Word Biblical Commentary Micah – Malachi, Texas: Word Books,
Publisher
[1] Roland
de Vaux, Ancient Israel, Volume 1,
McGraw-Hill Book Company, New York Toronto, 1986. Hal 24-26
[2] Prof. S.
Wismoady Wahono, Ph.D, Di Sini Kutemukan, Cet. 15, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011. Hal 260
[3] Pdt. Dr.
Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian
Lama dan Teologi Kontekstual, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. Hal 85
[4] Dr. J.
Blommendaal, pengantar kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1988) Hal. 168
[5] The
Anchor Bible, Hal 76
[6] Rita J.
Burns, Ezra dan Nehemia, Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian
Lama,Yogyakarta: Kanisius, 2002: hal 367
[7] Pdt. Dr.
Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2, (Bandung : BMI, 2009) Hal.
141
[8] Mary
Margaret Pazdan, OP, Maleakhi, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta:
Kanisius; 2002. Hal 734
[9] Robert
M. Paterson, Tafsir Alkitab, Kitab Nabi Maleakhi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1985) hal 41
[10] Kafir
adalah orang yang tidak percaya kepada Allah atau para rasulnya. Dan hal inilah
yang dipegang oleh umat muslim atau umat Islam.
[11] Pdt.
Weinata Sairin, M.Th & Pdt. Dr. J.M. Pattiasina, Pelaksanaan Undang-undang
perkawinan dalam perspektif Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Hal 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar