Selasa, 27 November 2012

sunat



Upaya mengkontekstualisasikan budaya sunat dalam Alkitab terhadap kearifan lokal dalam budaya Sunda
(JHON MUSA RENDHOARD)
Pendahuluan
            Sunat atau juga yang disebut sebagai budaya Sunat, merupakan bagian dari budaya yang telah ada sejak jaman Perjanjian Lama, bahkan di katakan di dalam bukunya Dr S. Wismoady Wahono, bahwa selain Israel, bangsa bangsa kuno lain pun melakukan sunat ia katakan lebih lanjut bahwa “ bahkan orang-orang asli Afrika, Australia, Amerika, Austronesia kuno pun melakukan sunat. Bangsa Indo-German dan Mongolia rupanya tidak mengenal sunat. Beberapa kelompok bangsa Arab sebelum lahirnya agama Islam pun sudah melakukan sunat[1]. Jadi boleh dikatakan sunat lahir bukan dari suatu bentuk pengakuan iman suatu agama seperti Yahudi atau Kristen dan juga Islam, melainkan lahir dari suatu kebiasaan budaya yang sudah dikenal oleh beberapa budaya kuno sebelumnya, jadi apakah Israel mengapdosi sunat menjadi tanda bagi bangsa ini bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah atau tanda perjanjian Allah dengan bangsa ini, kemudian apakah KeKristenan juga mewajibkan sunat seperti yang dilakukan di dalam PL?. Kemudia bagaimanakah pandangan Perjanjian Baru mengenai sunat ini? apakah PB di jamannya menerapkan sunat juga, jika ia apakah maknanya bagi umat dan jika tidak, kenapa PB tidak menerapkannya?. Di beberapa daerah di Indonesia juga sunat telah menjadi bagian budaya yang tidak lepas dari kehidupan budaya tersebut juga seperti yang dikatakan di atas, seperti dalam budaya Sunda yang di bahas di dalam tulisan ini. oleh karena itu, apakah pandangan Alkitab mengenai sunat, sehingga dapat di terapkan dengan konsep yang benar berdasarkan pandangan Alkitab. Oleh karena itu tulisan ini akan sedikit menjelaskan tentang sunat dalam Alkitab dan berusaha menkontektualisasikan dalam budaya yang penulis pilih yaitu budaya Sunda yang terletak di Jawa Barat di mana penulis dibesarkan.
Terminologi
a.       Istilah Sunat di Dalam Alkitab
            Kata sunat terdapat di dalam teks Alkitab sebanyak 87 ayat baik itu Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, yang membahas tentang kata ini. di dalam bahasa Ibrani sunat disebut lAMïhi ha mul  atau juga di sebut malal (yang berati dipotong), sedangkang di dalam Perjanjian baru disebut  peritomh/j\ peritomes (yang berati penyunatan atau sunatan). Di dalam kamus Alkitab sunat di artikan sebagai penghilangan kulit ujung penis laki-laki, dengan cara memotongnya. Meskipun secara luas didukung dalam masyarakat Barat modern dengan alasan kesehatan, sunat secara khusus dihubungkan dengan adat Yahudi, yang oleh mereka upacara ini dinilai sangat tinggi, sebagai saat ketika seorang anak laki-laki dikukuhkan ke dalam perjanjian Abraham delapan hari setelah kelahirannya (Im. 12:3)[2]. Namun dengan berjalannya waktu, khususnya di jaman Rasul Paulus, ia tidak menekankan akan sunat secara lahiriah lagi, melainkan sunat di dalam hati, yaitu pertobatan dari dosa dan hidup di dalam Kristus.

b.       Istilah Sunat di Dalam Budaya Sunda
Ada beberapa istilah di dalam bahasa sunda, yang disebut sebagai  kata sopak-ali sopak-ladong dan sudat. Kata sopak berarti mengerat dan ali adalah cincin, jadi kata sopak-ali berarti mengerat seperti bentuk cincin, sedangkan kata sopak-ladong berarti mengerat bagaikan memagas sebatang bambu/ladong, sedangkang kata sudat berarti dibedel. Istilah-istilah yang dikemukakan di atas sekali-kali tidak dipergunakan untuk menyebutkan keseluruhan upacara yang dimaksudkan di dalam budaya sunda. Sedankang untuk upacara ini ada istilah-istilah lain yang dipergunakan, seperti nyepitan, nyunatan, ngabersihan dan ngislamkeun. Di Jawa Barat baru-baru ini ada upacara sunat yang disebut khitanan, yang muncul kira-kira awal tahun 1972[3].
Pembahasan
§  Sunat Di  Dalam Perjanjian Lama
 Sejak zaman awal-mula, orang Israel. memandang  Sunat sebagai tanda  Perjanjian (Kis 7:8), tanda menjadi milik Yahwe atau tanda menjadi anggota persekutuan agama Israel. (Kel 12:48; Rom 4:11). Sunat juga dipandang sebagai sebuah tanda khas, yang membedakannya dari bangsa-bangsa lain (Hak 14:3; 1Sam 14:6; 2Sam 1:20 dan lain-lain), selain itu menurut de Vaux, “Tradisi yang sama mengatakan itu benar-benar terjadi di lakukan pada hari kedelapan setelah kelahirannya bahwa Ishak disunat (Kej 21:4[4]). Di Israel. tidak ditemukan undang-undang khusus mengenai sunat. Teks-teks yang dipengaruhi golongan para Imam (Kej 17:12; Im 12:3). Di dalam Kejadian 17:1-114 karya penulisan P[5] (para Imam), sunat di lukiskan sebagai Perjanjian[6], Allah akan memberi Abram banyak keturunan. Karena itu, Abram di tuntut hidup sesuai dengan kehendak Allah, tak bercela, dan melaksanakan sunat sebagai tanda perjanjian di antara mereka. Perubahan nama Abram (ayt 5) menandakan relasi baru dengan Allah dan kehidupan baru yang dijamin oleh perjanjian[7]. Di katakan dalam tafsiran bahwa, sunat baru menjadi tanda penting dari perjanjian di masa pembuangan Babel (586-538 SM). Karena itu, boleh disangsikan apakah sunat senantiasa berarti tanda perjanjian. Sunat dipraktekkan di Mesir Kuno dan oleh orang-orang Semit yang hidup di Kanaan. Di Mesopotamia, sunat tidak dikenal, juga di kalangan orang Filistin, yang oleh orang Israel disebut sebagai orang yang tak bersunat (2 Sam 1:20). Tidak jelas mengapa sunat di antara anak-anak menjadi umum, karena dulunya sunat dikaitkan dengan upacara akil balik. Hidup terasing di Babel menyebabkan sunat menjadi tanda jati diri religius mereka, yang membedakan mereka dengan orang Babel yang tidak bersunat. Bagi penulis P (para Imam), yang tulisannya berasal dari komunitas pembuangan, sunat merupakan tanda bahwa orang menjadi anggota komunitas yang menyembah Yahwe. Bagi mereka, sunat amat penting, sehingga kalau orang tidak di bersunat, ia tidak di anggap sebagai anggota bangsa Israel ( Kej 17: 14)[8].
§  Sunat Di Dalam Perjanjian Baru
Di dalam Perjanjian Baru, sunat di kenal awalnya dari kebiasaan bangsa Israel sendiri yaitu kaum Yahudi yang telah menetapkan sunat sebagai bentuk ikatan Perjanjian antara Allah dengan umat-Nya yang di tetapkan dalam hukum agama Yahudi, seperti ketika Yesus pada hari kedelapan kemudian Ia di bawah untuk di sunat (Lukas 2:21) dalam tafsiran Lukas karya Jerome Kodell, OSB, ia menyatakan bahwa “ Yesus digambarkan sebagai seorang Yahudi yang taat kepada hukum, menepati perintah hukum agama mengenai sunat dan penyerahan anak pertama kepada Allah[9]. Dan juga seperti Yohanes Pembabtis yang tentunya kedua orang tua mereka yang taat kepada agama yang sama seperti Yesus pada hari kedelapan di bawa untuk di Sunat juga. Artinya dari kedua contoh ini bisa dilihat bahwa sunat dikenal di jaman Perjanjian Baru sebagai suatu ritual dari bentuk keimanan dari agama Yahudi, bahwa setiap anak yang baru lahir, setelah hari kedelapan di bawa ke Bait Suci untuk di sunat. Namun Rasul Paulus di dalam pemahaman imannya kepada Kristus sebagai ciptaan baru yang ditebus oleh darah Kristus dari dosa, ia menyatakan bahwa sunat lahiriah bukanlah suatu jaminan keselamatan, jadi apakah Paulus bertentangan dengan Yesus, padahal Yesus juga di sunat?, tentu tidak, Kristus hanya mengikuti hukum agama Yahudi karena Ia dilahirkan dari keluarga yang taat pada hukum agama Yahudi, tentunya pengertian dari hukum ini bukan membawa kepada keselamatan melainkan hanya sebuah tradisi keagamaan dari Yahudi, yang jelasnya sudah di bahas dalam Perjanjian Lama bahwa sunat di lakukan hanya sebagai tanda untuk membedakan antara umat dengan bangsa lain pada masa itu yang jelas bukan umat Allah. artinya hanya sebagai simbol untuk membedakan mana umat Allah dan mana yang tidak. Oleh karena itu Paulus tidak lagi menekankan tentang simbol dari keagamaan Yahudi ini, di dalam Kamus Gambaran Alkitab dikatakan bahwa “ Paulus percaya bahwa orang-orang Kristen telah disunat dalam Kristus (Kol. 2:11). Karena mereka telah diberi hati yang baru oleh Roh; dan justru alasan ini Paulus dengan keras menentang orang-orang yang hendak memaksa para petobat bangsa lain menerima tanda sunat secara literal (Kis. 15:1-29). Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru. Itulah yang ada artinya (Gal. 6:15, 5:6)”[10]. Artinya ia memang tidak mempermasalahkan bahwa di sunat atau tidak di sunat bukanlah suatu hal yang penting, sebab itu tidak membawa orang kepada keselamatan, sebab lebih lanjut dikatakan oleh wismoady bahwa sebenarnya Paulus tidak mempersoalkan, apakah sunat kulup (sunat luar[11]) itu perlu atau tidak. Yang perlu bagi dia adalah ciptaan baru. Dia berkata: “Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya” (Gal. 6:15). Dengan ini jelaslah bahwa Paulus tidak melarang dan juga tidak menyuruh orang Kristen melakukan sunat luar. Yang penting baginya adalah iman, anugerah, kasih dan bukan sunat kulup[12]. Dalam kaitannya ini Paulus selalu mengaitkan segala simbol-simbol keagamaan itu dengan keselamatan, bahwa tidak ada satupun simbol-simbol itu dapat membawa kepada keselamatan. Dalam hal ini tentu Paulus lebih bersikap netral dan tidak terpaku kepada peraturan dan hukum keagamaan yang berlaku, melainkan kepada keselmatan semua orang, di dalam Kristus, pengorbanan Kristus di kayu salib telah sempurnah, dan tidak perlu ada peraturan atau ritual apapun untuk membawa kepada Kristus, melainkan kepada penerimaan kepada Kristus, dan menjadi milik Kristus, serta hidup di dalam Kristus, itulah yang membawa kepada keselamatan seseorang.
§  Sunat di Dalam Budaya Sunda
Seperti di jelaskan dalam terminologi tentang sunat yang di lakukan di daerah atau suku Sunda, bahwa ada beberapa istilah yang digunakan untuk melakukan sunat, di antaranya ialah, Nyepitan, Nyunatan, Ngabersihan dan Ngislamkeun. Kenapa sunat dalam budaya Sunda ada istilah Ngislamkeun, sebab seperti yang di katakan dalam suatu sumber bahwa “Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam. Tradisi dan budaya Islam masih terus dilakukan sampai sekarang dan sebagian diantaranya ada yang bercampur dengan tradisi asli orang Sunda”[13]. Artinya sebenarnya bahwa tradisi sunat di daerah Sunda sudah ada terlebih dahulu sebelum agama Islam masuk, kemudian setelah Islam masuk budaya sunat ini di kaitkan dengan budaya Islam yang juga melakukan sunat dalam ajarannya. Namun dalam pembahasan ini penulis membahas tentang sunat dalam budaya Sunda yang memiliki makna sebelum dipengaruhi oleh ajaran Islam dan juga agama – agama lainnya.
Sunat dalam budaya Sunda memiliki makna tersendiri yaitu makna yang dipengaruhi oleh pandangan hidup masyarakat Sunda sendiri tentang pandangannya mengenai sunat, yaitu seperti yang di uraikan oleh Dr W. Mintardja Rikin dalam bukunya bahwa makna sunat yang disebut sebagai Ngabersihan bagi masyarakat Sunda, yang dihubunkan dengan suatu istilah budaya yaitu tali paranti, ia menjelaskan bahwa tali paranti ialah seperti tali, “kita mengetahui makna seutas tali. Tali dapat dipergunakan untuk mengikat, demikian pula untuk mengukur. Secara simbolis kedua pengertian itu melambangkan hal keterikatan dan bimbingan perjalanan hidup. hal ini berlaku pada manusia sejak ia dilahirkan sampai dikebumikan, lebih tepat lagi bila dikatakan mulai dari kandungan ibu sampai dengan keseribu hari setelah dikebumikan (nyewu). Yang terpenting pada tali paranti ialah rasa keterikatan pada tuntunan hidup dan melaksanakannya selama ia hidup di dunia ini”[14]. Jadi menurutnya tali paranti ini merupakan tuntunan hidup bagi masyarakat Sunda pada dasarnya, sehingga itu begitu penting di lakukan dikarenakan berkaitan dengan perjalanan dari hidup manusia di dunia ini yang harus di taati dan dilakukan. Sehingga sunat pun demikian, ia terikat dengan tuntunan hidup yang memiliki makna tersendiri bagi hidup manusia menurut adat ini yaitu, menurut Dr. W. Mintardja, bahwa jika di tinjau dari tinjauan seksual, maknanya ialah, bahwa ketika seseorang sudah di sunat maka ia di katakan sudah dewasa, dan di katakan bahwa dapat melakukan hubungan seksual, artinya jika belum di sunat maka di katakan seperti anak-anak, oleh sebab itu, menurutnya bahwa “mungkin inilah penyebab sehingga wanita Sunda pada umumnya tidak mau melayani laki-laki yang tidak disunat. Sebagai alasan penolakan ini sering didengar kata-kata: “Masakan bergaul dengan seorang anak”. Penolakan ini berdasarkan tali paranti yang sudah menjadi budaya menurutnya, selanjutnya dijelaskan bahwa penolakan tadi merupakan soal sosial dan bukan soal seks. Bahkan jika wanita hamil, muncullah persoalan, siapakah ayah dari anak yang akan dilahirkan. Sebab dikatakan bahwa bila orang yang tidak disunat itu dianggap bocah, tentu ia tidak dapat diterima sebagai ayahnya[15]. Artinya sunat dimaknai memiliki peranan penting bagi kedewasaan seorang laki-laki. Kemudian makna kedua dari sunat ialah dilihat dari tinjauan religius-sosial. Upacara ngabersihan ini, dalam budaya sunda harus, di taati atau dilakukan, seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa ritual ini masuk dalam tali paranti masyarakat sunda. Oleh sebab itu dalam upacara ini, diadakan ritual dan acaran yang meriah, seperti; Penganten sunat diarak menggunakan sisingaan dan Penganten sunat diarak menggunakan kuda renggong “Tradisi khitanan atau sunatan pada masyarakat Sunda dilakukan satu hari sebelum hari mengkhitan anak. Sehari sebelum dikhitan, si anak laki-laki akan diarak keliling desa bak seorang raja cilik. Si anak atau disebut juga penganten sunat diarak diatas tandu kecil yang sudah dihias sedemikian rupa. Yang mengarak biasanya anggota keluarga, kerabat, dan tetangga.Rombongan penganten sunat ini keliling desa ditemani dengan kesenian Sunda yang meriah[16]”. Demikian juga dengan di araknya penganten sunat yang di arak dengan kuda Renggong yang sudah di latih agar mengikuti irama musik, di sini penganten sunat yaitu si anak di buat agar dapat senang sebelum di sunat, sehingga ia siap untuk di sunat. Setelah selesai acara arak-arakkan ini maka besoknya si anak di sunat, setelah itu, ada acara pemberiaan uag kepada si anak agar ia menjadi senang dan tidak sedih atas kesakitan yang di rasakan setelah di sunat. Dalam tradisi ini, makna dari tinjauan religiusnya ialah anak ini secara resmi memasuki hidup baru. Peralihan dari hidup yang lama ke hidup yang baru berlangsung dalam upacara ngabersihan ini. menurut Dr W. Mintradja bahwa “ memasuki tahap hidup yang baru, berarti pula ia diterima dalam group yang baru, yang sebaya dengannya.  Dengan jalan itu anak itu telah memasuki group laki-laki dewasa. group inilah yang mempunyai tanggung jawab besar dalam masyarakat sunda. Mereka bekerja, pergi berburu, melindungi masyarakat dari serangan musuh, baik dari dalam maupun dari luar, mengusahakan adanya generasi penerus, menjaga agar ada keseimbangan kosmos, alam semesta, khususnya dengan jalan mentaati tuntutan hidup yang tersimpan dalam tali paranti[17]. Oleh karena itu, dari kedua makna ini, maka melakukan tradisi sunatan (ngabersihan), bukanlah hanya sebatas suatu kebiasaan namun memiliki makna yang mendalam bagi pandangan hidup masyarakat sunda sendiri. Sehingga hal ini berlaku terus-menerus dari jaman-ke jaman, sampai saat ini pun, makna itu tetap ada pada masyarakat sunda, bahkan sampai adanya agama-agama besar yang masuk dalam budaya sunda, tradisi ini tetap dipertahankan dan di jaga.

Kesimpulan dan penerapannya
            Dari uraian di atas telah dilihat bahwa, tradisi sunat atau budaya sunat itu telah ada sebelum adanya agama-agama besar di dunia ini, seperti agama Yahudi, yang juga menerapkan sunat bagian dari hukum agama yang berlaku, Islam yang juga dalam ajarannya yang menekankan sunat bagi pemeluknya dan juga agama yang lainnya. tradisi ini dilakukan bukan hanya sebatas tentang menjaga kebersihan alat vital yang dibersihkan, namun di dalamnya terdapat makna yang mendalam bagi masyarakat sunda sendiri. Baik untuk dirinya maupun untuk hidup dengan sesamanya dan juga dengan alam. Sedangkan sunat yang dilakukan di masa Perjanjian Lama juga memiliki makna teologis yang mendalam, selain untuk membedakan dengan bangsa-bangsa lain yang tidak percaya kepada Yahweh, juga merupakan tanda atau simbol perjanjian Allah dengan umat-Nya seperti yang di uraikan di atas.
            Dari pembahasan ini, penulis memahami bahwa sunat memang merupakan suatu simbol, tetapi memiliki makna teologisnya baik itu dari sudut pandang PL maupun PB bahkan dalam budaya sunda sendiri itu merupakan suatu simbol yang melekat dalam masyarakat sunda sebagai bentuk ketaatan kepada tali paranti, sedangakan PL lebih kepada tanda, dan PB lebih kepada sunat yang baru yaitu lebih kepada bertobat dari dosa-dosa  dan menerimah Kristus, sebab seperti kata Paulus bahwa orang-orang percaya telah disunat dalam Kristus dan diberi hati yang baru. Penulis dalam hal ini, lebih mengambil maknanya baik dari PL dan PB dan juga Budaya Sunda sendiri.
Makna teologisnyanya ialah bahwa;
-          Sunat dalam PL mengajarkan bahwa hidup berkomonitas sebagai orang percaya.
-          Sunat dalam PL mengajarkan bahwa ada hubungan antara manusia dengan Allah yang selalu menunjukkan kasihNya bagi manusia
-          Sunat dalam PB mengajarkan bahwa, Kristus lebih tinggi dari segala ciptaan yang ada di dunia ini, sehingga bertobat dan hidup di dalam Kristus itu adalah sunat yang sejati, ayang artinya bukan berpatokan kepada tradisi atau hukum melainkan kepada Anugerah Allah.
-          Dan Sunat dalam budaya Sunda mengajarkan tentang status dan peran dari laki-laki sebagai pemimpin dan juga kepada tugas dan tanggung jawab manusia untuk menjaga dunia ini agar tetap seimbang seperti hidup baru dari kecil menuju dewas dan menaati tali paranti.
Dari sini, penulis mengambil kesimpulan bahwa sunat bukanlah suatu simbol atau tanda yang membawa kepada keselamatan, sehingga di dalam penerapannya penulis tidak menekankan bahwa sebagai orang Kristen maka harus di sunat atau tidak di sunat dan menjauhi hal ini. namun penulis bersikap seperti Paulus yaitu bersikap netral dalam hal ini, tidak menjadikan suatu tanda yang harus mutlak di taati, namun lebih kepada makna yang sesungguhnya, sebab di sunat atau tidak di sunat pun kita bisa melakukan dan menerapkan makna-makna yang telah kita pelajari dari makna-makna sunat di atas, sebab dalam pandangan penulis sebagi orang Kristen, kita adalah ciptaan yang baru di dalam Kristus. Yang diberikan kemampuan untuk melakukan hal-hal yang baik sebagai manusia.


Daftara Pustaka
Blommendaal, J. Dr, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 1988
Rikin, W, Mintardja. Dr, Peranan Sunat dalam Pola Hidup Masyarakat Sunda
Wahono, Wismoady,S. Ph.D, Pro-eksistensi: Kumpulan tulisan untuk mengacu kehidupan bersama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Kodell, Jerome, OSB, Tafsiran Lukas, Lembaga Biblika Indonesia, Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru, Editor; Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM, Yogyakarta: Kanisius, 2002
Vaux, De Roland, Ancient Israel, Volume 1, New York, Toronto: McGraw-Hill Book Company, 1965
Viviano, Pauline A, Lembaga Biblika Indonesia, Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama, Edit Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Kamus.
Kamus Alkitab, A Dictionary of the Bible, W.R.F. Browning, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Kamus Gambaran Alkitab, The Dictionary of the Biblical Imagery, Editor; Leland Ryken, James. C. Wilholt Tremper Longman III, Surabaya: Momemtum, 2011.
Program Komputer, KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, versi 1,3, mengacu kepada KBBI daring versi III, Freewar 2010-2011 by Ebta setiawan.

Internet




[1] S. Wismoady Wahono, Ph.D, Pro- eksitensi: Kumpulan tulisan untuk mengacu kehidupan Bersama,( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) hal 121
[2] W.R.F. Browing, Kamus Alkitab, (A Dictionary of the Bible), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. Hal  424.
[3] Dr. W. Minatardja Rikin, Peranan Sunat dalam Pola Hidup Masyarakat Sunda.
[4] Roland De Vaux, Ancient Israel, Toronto:Mc-Gray, Book Company, 1965. Hal 37
[5] P (Priester) sumber imamat, yang menafsirkan teks berdasarka Teori Sumber, sumber ini diperkirakan di tulis pada abad ke 6 SM. Kritik sumber berusaha untuk menetapkan bagian-bagian yang mana dari suatu kitab tertentu berhubungan dengan setiap sumber hipotesanya dan kemudian menganalisanya setiap sumber. Biasanya bagian-bagian dihubungkan dengan sumber-sumber yang berlainan berdasarkan  dalam gaya bahasa dan juga teologinya ( Andrew E. Hill & John H. Walton, Suvei Perjanjian Lama, Terjemahan: Gandum Mas, Malang, 2004.hal 13.   Lihat juga untuk lebih rinci mengenai teori sumber ini dalam bukunya Dr. J. Blommendal, Pengantar kepada Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988. Hal 21.)
[6] Perjanjian = kata Ibrani berith berarti persetujuan antara dua pihak. Namun di dalam hubungan-Nya dengan umat perjanjian merupakan anugerah yang Allah berikan bagi manusia, jika pada manusia dengan sesamanya perjanjian di lakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, namun dengan Allah, Allahlah yang memberikan perjanjian itu bagi manusia berdasarkan anugerahNya sebagai pencipta dan pemilik dari hidup manusia. dalam hal ini perjanjian dengan Abram (Kej 17) , yang dimateraikan dengan janji  penyunatan yang teratur (23).
[7] Lihat juga pembahasan Roland de Vaux di dalam bukunya yang mengenai sunat kepada anak-anak, dan disitu juga ia menjelaskan bahwa bukan hanya keturunan Israel saja melainkan keturunan asing yang sudah di belipun harus di sunat.
[8] Pauline A Viviano, Lembaga Biblika Indonesia, Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama, Edit Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hal 55
[9] Jerome Kodell, OSB, Tafsiran Lukas, Lembaga Biblika Indonesia, Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru, Editor; Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM, (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hal 120
[10] Kamus Gambaran Alkitab, The Dictionary of Biblical Imagery, Editor Leland Ryken, James. C, Wilholt Tremper Longman III, (Surabaya: Momentum, 2011) hal 1046
[11] Wismoady memakai sunat kulup untuk menyatakan sunat luar, yang di dalam KBBI (kamus Besar Bahasa Indonesia) disebut sebagai “kelopak kulit yang menutupi ujung kemaluan laki-laki sebelum di khitan (sunat)
[12] Ibid, wismoady, Hal 123
[14] Ibid, Dr. W. Mintardja Rikin, Hal 5-6
[15]  Ibid, hal 173
[17] Ibib, W. Mintardja, hal 177

Tidak ada komentar:

Posting Komentar