Upaya mengkontekstualisasikan
budaya sunat dalam Alkitab terhadap kearifan lokal dalam budaya Sunda
(JHON MUSA RENDHOARD)
Pendahuluan
Sunat atau juga yang disebut sebagai budaya Sunat,
merupakan bagian dari budaya yang telah ada sejak jaman Perjanjian Lama, bahkan
di katakan di dalam bukunya Dr S. Wismoady Wahono, bahwa selain Israel, bangsa
bangsa kuno lain pun melakukan sunat ia katakan lebih lanjut bahwa “ bahkan orang-orang asli Afrika, Australia,
Amerika, Austronesia kuno pun melakukan sunat. Bangsa Indo-German dan Mongolia
rupanya tidak mengenal sunat. Beberapa kelompok bangsa Arab sebelum lahirnya
agama Islam pun sudah melakukan sunat[1]”.
Jadi boleh dikatakan sunat lahir bukan dari suatu bentuk pengakuan iman suatu
agama seperti Yahudi atau Kristen dan juga Islam, melainkan lahir dari suatu
kebiasaan budaya yang sudah dikenal oleh beberapa budaya kuno sebelumnya, jadi
apakah Israel mengapdosi sunat menjadi tanda bagi bangsa ini bahwa mereka
adalah bangsa pilihan Allah atau tanda perjanjian Allah dengan bangsa ini,
kemudian apakah KeKristenan juga mewajibkan sunat seperti yang dilakukan di
dalam PL?. Kemudia bagaimanakah pandangan Perjanjian Baru mengenai sunat ini?
apakah PB di jamannya menerapkan sunat juga, jika ia apakah maknanya bagi umat dan
jika tidak, kenapa PB tidak menerapkannya?. Di beberapa daerah di Indonesia juga
sunat telah menjadi bagian budaya yang tidak lepas dari kehidupan budaya
tersebut juga seperti yang dikatakan di atas, seperti dalam budaya Sunda yang
di bahas di dalam tulisan ini. oleh karena itu, apakah pandangan Alkitab
mengenai sunat, sehingga dapat di terapkan dengan konsep yang benar berdasarkan
pandangan Alkitab. Oleh karena itu tulisan ini akan sedikit menjelaskan tentang
sunat dalam Alkitab dan berusaha menkontektualisasikan dalam budaya yang
penulis pilih yaitu budaya Sunda yang terletak di Jawa Barat di mana penulis dibesarkan.
Terminologi
a.
Istilah Sunat di Dalam Alkitab
Kata sunat terdapat di dalam teks
Alkitab sebanyak 87 ayat baik itu Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, yang
membahas tentang kata ini. di dalam bahasa Ibrani sunat disebut
lAMïhi ha mul
atau juga di sebut malal (yang berati dipotong), sedangkang di dalam
Perjanjian baru disebut peritomh/j\ peritomes (yang berati penyunatan atau sunatan).
Di dalam kamus Alkitab sunat di artikan sebagai penghilangan kulit ujung penis
laki-laki, dengan cara memotongnya. Meskipun secara luas didukung dalam
masyarakat Barat modern dengan alasan kesehatan, sunat secara khusus
dihubungkan dengan adat Yahudi, yang oleh mereka upacara ini dinilai sangat
tinggi, sebagai saat ketika seorang anak laki-laki dikukuhkan ke dalam
perjanjian Abraham delapan hari setelah kelahirannya (Im. 12:3)[2]. Namun
dengan berjalannya waktu, khususnya di jaman Rasul Paulus, ia tidak menekankan
akan sunat secara lahiriah lagi, melainkan sunat di dalam hati, yaitu pertobatan
dari dosa dan hidup di dalam Kristus.
b. Istilah Sunat di Dalam Budaya Sunda
Ada
beberapa istilah di dalam bahasa sunda, yang disebut sebagai kata sopak-ali sopak-ladong dan sudat. Kata
sopak berarti mengerat dan ali adalah cincin, jadi kata sopak-ali berarti
mengerat seperti bentuk cincin, sedangkan kata sopak-ladong berarti mengerat
bagaikan memagas sebatang bambu/ladong, sedangkang kata sudat berarti dibedel.
Istilah-istilah yang dikemukakan di atas sekali-kali tidak dipergunakan untuk
menyebutkan keseluruhan upacara yang dimaksudkan di dalam budaya sunda.
Sedankang untuk upacara ini ada istilah-istilah lain yang dipergunakan, seperti
nyepitan, nyunatan, ngabersihan dan ngislamkeun. Di Jawa Barat baru-baru ini
ada upacara sunat yang disebut khitanan, yang muncul kira-kira awal tahun 1972[3].
Pembahasan
§ Sunat
Di Dalam Perjanjian Lama
Sejak zaman awal-mula, orang Israel.
memandang Sunat sebagai tanda Perjanjian (Kis 7:8), tanda menjadi milik
Yahwe atau tanda menjadi anggota persekutuan agama Israel. (Kel 12:48; Rom
4:11). Sunat juga dipandang sebagai sebuah tanda khas, yang membedakannya dari
bangsa-bangsa lain (Hak 14:3; 1Sam 14:6; 2Sam 1:20 dan lain-lain), selain itu
menurut de Vaux, “Tradisi yang sama
mengatakan itu benar-benar terjadi di lakukan pada hari kedelapan setelah
kelahirannya bahwa Ishak disunat (Kej 21:4[4]).
Di Israel. tidak ditemukan undang-undang khusus mengenai sunat. Teks-teks yang
dipengaruhi golongan para Imam (Kej 17:12; Im 12:3). Di dalam Kejadian 17:1-114
karya penulisan P[5]
(para Imam), sunat di lukiskan sebagai Perjanjian[6],
Allah akan memberi Abram banyak keturunan. Karena itu, Abram di tuntut hidup
sesuai dengan kehendak Allah, tak bercela, dan melaksanakan sunat sebagai tanda
perjanjian di antara mereka. Perubahan nama Abram (ayt 5) menandakan relasi
baru dengan Allah dan kehidupan baru yang dijamin oleh perjanjian[7].
Di katakan dalam tafsiran bahwa, sunat baru menjadi tanda penting dari
perjanjian di masa pembuangan Babel (586-538 SM). Karena itu, boleh disangsikan
apakah sunat senantiasa berarti tanda perjanjian. Sunat dipraktekkan di Mesir
Kuno dan oleh orang-orang Semit yang hidup di Kanaan. Di Mesopotamia, sunat
tidak dikenal, juga di kalangan orang Filistin, yang oleh orang Israel disebut
sebagai orang yang tak bersunat (2 Sam 1:20). Tidak jelas mengapa sunat di
antara anak-anak menjadi umum, karena dulunya sunat dikaitkan dengan upacara
akil balik. Hidup terasing di Babel menyebabkan sunat menjadi tanda jati diri
religius mereka, yang membedakan mereka dengan orang Babel yang tidak bersunat.
Bagi penulis P (para Imam), yang tulisannya berasal dari komunitas pembuangan,
sunat merupakan tanda bahwa orang menjadi anggota komunitas yang menyembah
Yahwe. Bagi mereka, sunat amat penting, sehingga kalau orang tidak di bersunat,
ia tidak di anggap sebagai anggota bangsa Israel ( Kej 17: 14)[8].
§ Sunat
Di Dalam Perjanjian Baru
Di
dalam Perjanjian Baru, sunat di kenal awalnya dari kebiasaan bangsa Israel
sendiri yaitu kaum Yahudi yang telah menetapkan sunat sebagai bentuk ikatan
Perjanjian antara Allah dengan umat-Nya yang di tetapkan dalam hukum agama
Yahudi, seperti ketika Yesus pada hari kedelapan kemudian Ia di bawah untuk di
sunat (Lukas 2:21) dalam tafsiran Lukas karya Jerome Kodell, OSB, ia menyatakan
bahwa “ Yesus digambarkan sebagai seorang
Yahudi yang taat kepada hukum, menepati perintah hukum agama mengenai sunat dan
penyerahan anak pertama kepada Allah[9].
Dan juga seperti Yohanes Pembabtis yang tentunya kedua orang tua mereka yang
taat kepada agama yang sama seperti Yesus pada hari kedelapan di bawa untuk di
Sunat juga. Artinya dari kedua contoh ini bisa dilihat bahwa sunat dikenal di
jaman Perjanjian Baru sebagai suatu ritual dari bentuk keimanan dari agama
Yahudi, bahwa setiap anak yang baru lahir, setelah hari kedelapan di bawa ke
Bait Suci untuk di sunat. Namun Rasul Paulus di dalam pemahaman imannya kepada
Kristus sebagai ciptaan baru yang ditebus oleh darah Kristus dari dosa, ia
menyatakan bahwa sunat lahiriah bukanlah suatu jaminan keselamatan, jadi apakah
Paulus bertentangan dengan Yesus, padahal Yesus juga di sunat?, tentu tidak,
Kristus hanya mengikuti hukum agama Yahudi karena Ia dilahirkan dari keluarga
yang taat pada hukum agama Yahudi, tentunya pengertian dari hukum ini bukan
membawa kepada keselamatan melainkan hanya sebuah tradisi keagamaan dari
Yahudi, yang jelasnya sudah di bahas dalam Perjanjian Lama bahwa sunat di
lakukan hanya sebagai tanda untuk membedakan antara umat dengan bangsa lain
pada masa itu yang jelas bukan umat Allah. artinya hanya sebagai simbol untuk
membedakan mana umat Allah dan mana yang tidak. Oleh karena itu Paulus tidak
lagi menekankan tentang simbol dari keagamaan Yahudi ini, di dalam Kamus
Gambaran Alkitab dikatakan bahwa “ Paulus
percaya bahwa orang-orang Kristen telah disunat dalam Kristus (Kol. 2:11).
Karena mereka telah diberi hati yang baru oleh Roh; dan justru alasan ini Paulus
dengan keras menentang orang-orang yang hendak memaksa para petobat bangsa lain
menerima tanda sunat secara literal (Kis. 15:1-29). Sebab bersunat atau tidak
bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru. Itulah yang ada
artinya (Gal. 6:15, 5:6)”[10].
Artinya ia memang tidak mempermasalahkan bahwa di sunat atau tidak di sunat
bukanlah suatu hal yang penting, sebab itu tidak membawa orang kepada
keselamatan, sebab lebih lanjut dikatakan oleh wismoady bahwa sebenarnya Paulus
tidak mempersoalkan, apakah sunat kulup (sunat luar[11])
itu perlu atau tidak. Yang perlu bagi dia adalah ciptaan baru. Dia berkata: “Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada
artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya” (Gal. 6:15).
Dengan ini jelaslah bahwa Paulus tidak melarang dan juga tidak menyuruh orang
Kristen melakukan sunat luar. Yang penting baginya adalah iman, anugerah, kasih
dan bukan sunat kulup”[12].
Dalam kaitannya ini Paulus selalu mengaitkan segala simbol-simbol keagamaan itu
dengan keselamatan, bahwa tidak ada satupun simbol-simbol itu dapat membawa
kepada keselamatan. Dalam hal ini tentu Paulus lebih bersikap netral dan tidak
terpaku kepada peraturan dan hukum keagamaan yang berlaku, melainkan kepada
keselmatan semua orang, di dalam Kristus, pengorbanan Kristus di kayu salib
telah sempurnah, dan tidak perlu ada peraturan atau ritual apapun untuk membawa
kepada Kristus, melainkan kepada penerimaan kepada Kristus, dan menjadi milik
Kristus, serta hidup di dalam Kristus, itulah yang membawa kepada keselamatan
seseorang.
§ Sunat
di Dalam Budaya Sunda
Seperti di jelaskan
dalam terminologi tentang sunat yang di lakukan di daerah atau suku Sunda,
bahwa ada beberapa istilah yang digunakan untuk melakukan sunat, di antaranya
ialah, Nyepitan, Nyunatan, Ngabersihan dan Ngislamkeun. Kenapa sunat dalam
budaya Sunda ada istilah Ngislamkeun, sebab seperti yang di katakan dalam suatu
sumber bahwa “Suku Sunda merupakan etnis
kedua terbesar di Indonesia. Mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam.
Tradisi dan budaya Islam masih terus dilakukan sampai sekarang dan sebagian
diantaranya ada yang bercampur dengan tradisi asli orang Sunda”[13].
Artinya
sebenarnya bahwa tradisi sunat di daerah Sunda sudah ada terlebih dahulu
sebelum agama Islam masuk, kemudian setelah Islam masuk budaya sunat ini di
kaitkan dengan budaya Islam yang juga melakukan sunat dalam ajarannya. Namun
dalam pembahasan ini penulis membahas tentang sunat dalam budaya Sunda yang
memiliki makna sebelum dipengaruhi oleh ajaran Islam dan juga agama – agama
lainnya.
Sunat dalam budaya Sunda memiliki makna
tersendiri yaitu makna yang dipengaruhi oleh pandangan hidup masyarakat Sunda
sendiri tentang pandangannya mengenai sunat, yaitu seperti yang di uraikan oleh
Dr W. Mintardja Rikin dalam bukunya bahwa makna sunat yang disebut sebagai
Ngabersihan bagi masyarakat Sunda, yang dihubunkan dengan suatu istilah budaya
yaitu tali paranti, ia menjelaskan bahwa tali paranti ialah seperti
tali, “kita mengetahui makna seutas tali.
Tali dapat dipergunakan untuk mengikat, demikian pula untuk mengukur. Secara
simbolis kedua pengertian itu melambangkan hal keterikatan dan bimbingan
perjalanan hidup. hal ini berlaku pada manusia sejak ia dilahirkan sampai
dikebumikan, lebih tepat lagi bila dikatakan mulai dari kandungan ibu sampai
dengan keseribu hari setelah dikebumikan (nyewu). Yang terpenting pada tali
paranti ialah rasa keterikatan pada tuntunan hidup dan melaksanakannya selama
ia hidup di dunia ini”[14].
Jadi menurutnya tali paranti ini merupakan tuntunan hidup bagi masyarakat Sunda
pada dasarnya, sehingga itu begitu penting di lakukan dikarenakan berkaitan
dengan perjalanan dari hidup manusia di dunia ini yang harus di taati dan
dilakukan. Sehingga sunat pun demikian, ia terikat dengan tuntunan hidup yang
memiliki makna tersendiri bagi hidup manusia menurut adat ini yaitu, menurut
Dr. W. Mintardja, bahwa jika di tinjau dari tinjauan seksual, maknanya ialah, bahwa
ketika seseorang sudah di sunat maka ia di katakan sudah dewasa, dan di katakan
bahwa dapat melakukan hubungan seksual, artinya jika belum di sunat maka di
katakan seperti anak-anak, oleh sebab itu, menurutnya bahwa “mungkin inilah
penyebab sehingga wanita Sunda pada umumnya tidak mau melayani laki-laki yang
tidak disunat. Sebagai alasan penolakan ini sering didengar kata-kata: “Masakan
bergaul dengan seorang anak”. Penolakan ini berdasarkan tali paranti yang sudah
menjadi budaya menurutnya, selanjutnya dijelaskan bahwa penolakan tadi
merupakan soal sosial dan bukan soal seks. Bahkan jika wanita hamil, muncullah
persoalan, siapakah ayah dari anak yang akan dilahirkan. Sebab dikatakan bahwa
bila orang yang tidak disunat itu dianggap bocah, tentu ia tidak dapat diterima
sebagai ayahnya[15].
Artinya sunat dimaknai memiliki peranan penting bagi kedewasaan seorang
laki-laki. Kemudian makna kedua dari sunat ialah dilihat dari tinjauan
religius-sosial. Upacara ngabersihan ini, dalam budaya sunda harus, di taati
atau dilakukan, seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa ritual ini masuk
dalam tali paranti masyarakat sunda. Oleh
sebab itu dalam upacara ini, diadakan ritual dan acaran yang meriah, seperti; Penganten
sunat diarak menggunakan sisingaan dan Penganten sunat diarak menggunakan kuda
renggong “Tradisi khitanan atau sunatan
pada masyarakat Sunda dilakukan satu hari sebelum hari mengkhitan anak. Sehari
sebelum dikhitan, si anak laki-laki akan diarak keliling desa bak seorang raja
cilik. Si anak atau disebut juga penganten sunat diarak diatas tandu kecil yang
sudah dihias sedemikian rupa. Yang mengarak biasanya anggota keluarga, kerabat,
dan tetangga.Rombongan penganten sunat ini keliling desa ditemani dengan
kesenian Sunda yang meriah[16]”.
Demikian juga dengan di araknya penganten sunat yang di arak dengan kuda
Renggong yang sudah di latih agar mengikuti irama musik, di sini penganten
sunat yaitu si anak di buat agar dapat senang sebelum di sunat, sehingga ia
siap untuk di sunat. Setelah selesai acara arak-arakkan ini maka besoknya si
anak di sunat, setelah itu, ada acara pemberiaan uag kepada si anak agar ia
menjadi senang dan tidak sedih atas kesakitan yang di rasakan setelah di sunat.
Dalam tradisi ini, makna dari tinjauan religiusnya ialah anak ini secara resmi
memasuki hidup baru. Peralihan dari hidup yang lama ke hidup yang baru
berlangsung dalam upacara ngabersihan ini. menurut Dr W. Mintradja bahwa “ memasuki tahap hidup yang baru, berarti pula
ia diterima dalam group yang baru, yang sebaya dengannya. Dengan jalan itu anak itu telah memasuki
group laki-laki dewasa. group inilah yang mempunyai tanggung jawab besar dalam
masyarakat sunda. Mereka bekerja, pergi berburu, melindungi masyarakat dari
serangan musuh, baik dari dalam maupun dari luar, mengusahakan adanya generasi
penerus, menjaga agar ada keseimbangan kosmos, alam semesta, khususnya dengan
jalan mentaati tuntutan hidup yang tersimpan dalam tali paranti”[17].
Oleh karena itu, dari kedua makna ini, maka melakukan tradisi sunatan (ngabersihan),
bukanlah hanya sebatas suatu kebiasaan namun memiliki makna yang mendalam bagi
pandangan hidup masyarakat sunda sendiri. Sehingga hal ini berlaku
terus-menerus dari jaman-ke jaman, sampai saat ini pun, makna itu tetap ada
pada masyarakat sunda, bahkan sampai adanya agama-agama besar yang masuk dalam
budaya sunda, tradisi ini tetap dipertahankan dan di jaga.
Kesimpulan
dan penerapannya
Dari
uraian di atas telah dilihat bahwa, tradisi sunat atau budaya sunat itu telah
ada sebelum adanya agama-agama besar di dunia ini, seperti agama Yahudi, yang
juga menerapkan sunat bagian dari hukum agama yang berlaku, Islam yang juga
dalam ajarannya yang menekankan sunat bagi pemeluknya dan juga agama yang
lainnya. tradisi ini dilakukan bukan hanya sebatas tentang menjaga kebersihan
alat vital yang dibersihkan, namun di dalamnya terdapat makna yang mendalam
bagi masyarakat sunda sendiri. Baik untuk dirinya maupun untuk hidup dengan
sesamanya dan juga dengan alam. Sedangkan sunat yang dilakukan di masa Perjanjian
Lama juga memiliki makna teologis yang mendalam, selain untuk membedakan dengan
bangsa-bangsa lain yang tidak percaya kepada Yahweh, juga merupakan tanda atau
simbol perjanjian Allah dengan umat-Nya seperti yang di uraikan di atas.
Dari
pembahasan ini, penulis memahami bahwa sunat memang merupakan suatu simbol,
tetapi memiliki makna teologisnya baik itu dari sudut pandang PL maupun PB
bahkan dalam budaya sunda sendiri itu merupakan suatu simbol yang melekat dalam
masyarakat sunda sebagai bentuk ketaatan kepada tali paranti, sedangakan PL lebih kepada tanda, dan PB lebih kepada
sunat yang baru yaitu lebih kepada bertobat dari dosa-dosa dan menerimah Kristus, sebab seperti kata
Paulus bahwa orang-orang percaya telah disunat dalam Kristus dan diberi hati
yang baru. Penulis dalam hal ini, lebih mengambil maknanya baik dari PL dan PB
dan juga Budaya Sunda sendiri.
Makna teologisnyanya ialah bahwa;
-
Sunat dalam PL mengajarkan bahwa hidup
berkomonitas sebagai orang percaya.
-
Sunat dalam PL mengajarkan bahwa ada
hubungan antara manusia dengan Allah yang selalu menunjukkan kasihNya bagi
manusia
-
Sunat dalam PB mengajarkan bahwa,
Kristus lebih tinggi dari segala ciptaan yang ada di dunia ini, sehingga
bertobat dan hidup di dalam Kristus itu adalah sunat yang sejati, ayang artinya
bukan berpatokan kepada tradisi atau hukum melainkan kepada Anugerah Allah.
-
Dan Sunat dalam budaya Sunda mengajarkan
tentang status dan peran dari laki-laki sebagai pemimpin dan juga kepada tugas
dan tanggung jawab manusia untuk menjaga dunia ini agar tetap seimbang seperti
hidup baru dari kecil menuju dewas dan menaati tali paranti.
Dari sini, penulis
mengambil kesimpulan bahwa sunat bukanlah suatu simbol atau tanda yang membawa
kepada keselamatan, sehingga di dalam penerapannya penulis tidak menekankan
bahwa sebagai orang Kristen maka harus di sunat atau tidak di sunat dan
menjauhi hal ini. namun penulis bersikap seperti Paulus yaitu bersikap netral
dalam hal ini, tidak menjadikan suatu tanda yang harus mutlak di taati, namun
lebih kepada makna yang sesungguhnya, sebab di sunat atau tidak di sunat pun
kita bisa melakukan dan menerapkan makna-makna yang telah kita pelajari dari
makna-makna sunat di atas, sebab dalam pandangan penulis sebagi orang Kristen,
kita adalah ciptaan yang baru di dalam Kristus. Yang diberikan kemampuan untuk
melakukan hal-hal yang baik sebagai manusia.
Daftara
Pustaka
Blommendaal,
J. Dr, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, Jakarta; BPK
Gunung Mulia, 1988
Rikin,
W, Mintardja. Dr, Peranan Sunat dalam Pola Hidup
Masyarakat Sunda
Wahono,
Wismoady,S. Ph.D, Pro-eksistensi: Kumpulan tulisan untuk
mengacu kehidupan bersama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Kodell, Jerome, OSB,
Tafsiran Lukas, Lembaga Biblika
Indonesia, Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru, Editor; Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris,
OFM, Yogyakarta: Kanisius, 2002
Vaux, De Roland, Ancient Israel, Volume 1, New
York, Toronto: McGraw-Hill Book Company, 1965
Viviano, Pauline A,
Lembaga Biblika Indonesia, Tafsiran
Alkitab Perjanjian Lama, Edit Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris,
OFM, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Kamus.
Kamus Alkitab, A Dictionary of the
Bible, W.R.F. Browning, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Kamus Gambaran Alkitab, The Dictionary
of the Biblical Imagery, Editor; Leland Ryken, James. C. Wilholt Tremper
Longman III, Surabaya: Momemtum, 2011.
Program Komputer, KBBI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, versi 1,3, mengacu kepada KBBI daring versi III, Freewar
2010-2011 by Ebta setiawan.
Internet
[1] S.
Wismoady Wahono, Ph.D, Pro- eksitensi:
Kumpulan tulisan untuk mengacu kehidupan Bersama,( Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001) hal 121
[2] W.R.F.
Browing, Kamus Alkitab, (A Dictionary of
the Bible), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. Hal 424.
[3] Dr. W.
Minatardja Rikin, Peranan Sunat dalam
Pola Hidup Masyarakat Sunda.
[4] Roland
De Vaux, Ancient Israel, Toronto:Mc-Gray, Book Company, 1965. Hal 37
[5] P
(Priester) sumber imamat, yang menafsirkan teks berdasarka Teori Sumber, sumber
ini diperkirakan di tulis pada abad ke 6 SM. Kritik sumber berusaha untuk
menetapkan bagian-bagian yang mana dari suatu kitab tertentu berhubungan dengan
setiap sumber hipotesanya dan kemudian menganalisanya setiap sumber. Biasanya
bagian-bagian dihubungkan dengan sumber-sumber yang berlainan berdasarkan dalam gaya bahasa dan juga teologinya (
Andrew E. Hill & John H. Walton, Suvei Perjanjian Lama, Terjemahan: Gandum
Mas, Malang, 2004.hal 13. Lihat juga
untuk lebih rinci mengenai teori sumber ini dalam bukunya Dr. J. Blommendal,
Pengantar kepada Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988. Hal 21.)
[6] Perjanjian
= kata Ibrani berith berarti persetujuan antara dua pihak. Namun di dalam
hubungan-Nya dengan umat perjanjian merupakan anugerah yang Allah berikan bagi
manusia, jika pada manusia dengan sesamanya perjanjian di lakukan dengan
persetujuan kedua belah pihak, namun dengan Allah, Allahlah yang memberikan
perjanjian itu bagi manusia berdasarkan anugerahNya sebagai pencipta dan
pemilik dari hidup manusia. dalam hal ini perjanjian dengan Abram (Kej 17) ,
yang dimateraikan dengan janji
penyunatan yang teratur (23).
[7] Lihat
juga pembahasan Roland de Vaux di dalam bukunya yang mengenai sunat kepada
anak-anak, dan disitu juga ia menjelaskan bahwa bukan hanya keturunan Israel
saja melainkan keturunan asing yang sudah di belipun harus di sunat.
[8] Pauline
A Viviano, Lembaga Biblika Indonesia, Tafsiran
Alkitab Perjanjian Lama, Edit Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris,
OFM, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hal 55
[9] Jerome
Kodell, OSB, Tafsiran Lukas, Lembaga
Biblika Indonesia, Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru, Editor; Dianne
Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM, (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hal 120
[10] Kamus
Gambaran Alkitab, The Dictionary of Biblical Imagery, Editor Leland Ryken,
James. C, Wilholt Tremper Longman III, (Surabaya: Momentum, 2011) hal 1046
[11]
Wismoady memakai sunat kulup untuk menyatakan sunat luar, yang di dalam KBBI
(kamus Besar Bahasa Indonesia) disebut sebagai “kelopak kulit yang menutupi
ujung kemaluan laki-laki sebelum di khitan (sunat)
[12] Ibid,
wismoady, Hal 123
[14] Ibid,
Dr. W. Mintardja Rikin, Hal 5-6
[15] Ibid, hal 173
[17] Ibib,
W. Mintardja, hal 177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar